Lutfi

Slide Show
”large
SLIDES = new slideshow(“SLIDES”); SLIDES.timeout = 5000; //mengatur waktu slide show SLIDES.prefetch = 1; //memanggil file gambar-1 s = new slide(); s.src = “images/iklan-header.jpg”; SLIDES.add_slide(s); //memanggil file gambar-2 s = new slide(); s.src = “images/iklan-header-1.jpg”; SLIDES.add_slide(s); //memanggil file gambar-3 s = new slide(); s.src = “images/iklan-header-2.jpg”; SLIDES.add_slide(s); //memanggil file gambar-4 s = new slide(); s.src = “images/iklan-header-3.jpg”; SLIDES.add_slide(s); SLIDES.timeout = 5000; s = new slide(); s.src = “images/iklan-header.jpg”; SLIDES.add_slide(s);
Home » , » Antara Sistem Ekonomi Islam dan Ilmu Ekonomi Islam

Antara Sistem Ekonomi Islam dan Ilmu Ekonomi Islam

Written By Unknown on Senin, 07 Januari 2013 | 14.33


Pengertian Sistem Ekonomi Islam
Menurut West Churchman, sistem adalah serangkaian komponen yang dikoordinasikan untuk mencapai serangkaian tujuan. Dengan demikian sebuah sistem memiliki tiga karakteristik, yaitu komponen, proses, dan tujuan. Namun begitu, hal yang paling utama untuk diperhatikan adalah komponennya itu sendiri. Sebab proses dan tujuan hanya sebagai pelengkap dari sebuah sistem.[i]


Sistem ekonomi Kapitalisme dan sistem ekonomi Sosialisme tidak dapat bersatu dan bahkan saling bersaing di dunia untuk saling mengalahkan, disebabkan oleh perbedaan komponen dan sumber komponennya. Dengan demikian untuk melihat bentuk sistem ekonomi Islam tidak lain kecuali dengan melihat dari komponen dan sumber komponennya.

Apabila melihat kembali pengertian ekonomi Islam diatas yang mengartikan pengaturan urusan harta dari sudut pandang Islam, maka dapat terlihat komponen dari sistem ekonomi Islam. Yaitu komponennya adalah hukum (syariah) dan sumber komponennya adalah berasal dari Islam. Dengan demikian sistem ekonomi Islam dapat diambil suatu pengertian darinya sebagai hukum-hukum syariah yang berkaitan dengan pengaturan urusan harta.[ii]

Namun begitu suatu bentuk sistem ekonomi biasanya diperbandingkan melalui hal yang paling mendasar, yaitu masalah pokok ekonomi. Adapun masalah pokok ekonomi menurut teori ilmu ekonomi klasik adalah masalah sistem produksi, sistem distribusi dan sistem konsumsi.

Inti pembahasan dari masalah produksi, distribusi dan konsumsi sebenarnya adalah pembahasan masalah fundamental perekonomian yang dihadapi setiap masyarakat. Adapun masalah fundamental perekonomian yang dihadapi masyarakat adalah pertanyaan terhadap barang dan jasa dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup manusia. Seperti pertanyaan barang dan jasa apa yang akan diproduksi (what), siapa yang berhak menjadi pelaku produksi (who), bagaimana cara proses produksi tersebut dilakukan (how), dan untuk siapa barang dan jasa hasil produksi tersebut (for whom).[iii]

Untuk memudahkan dalam melihat bentuk sistem ekonomi Islam, maka inti pertanyaan terhadap barang dan jasa sebagai pemenuh kebutuhan hidup manusia tersebut dapat disederhanakan dengan tiga komponen, yaitu konsep kepemilikan (al-milkiyah), konsep pemanfaatan kepemilikan (tasharruf fil milkiyah) dan konsep distribusi kekayaan ditengah-tengah masyarakat (tauzi’u tsarwah baina an-nas).

Dengan digambarkannya sistem ekonomi dengan tiga bagian tersebut (kepemilikan, pemanfaaatan dan distribusi) maka kita akan dengan mudah melihat sistem ekonomi Islam secara global. Sekaligus dapat pula dengan gamblang saat membedakannya dengan sistem ekonomi lainnya. Sebab letak perbedaan antara satu sistem ekonomi dengan sistem ekonomi lainnya terletak pada tiga poin tersebut, yaitu jenis-jenis kepemilikan terhadap harta, cara memanfaatkan harta dan cara membagikan harta tersebut kepada masyarakat.

Dalam ekonomi Islam konsep kepemilikan terbagi tiga, yaitu:

a.       Kepemilikan Individu (milkiyatu fardiyah)b.      Kepemilikan umum (milkiyatu ‘ammah)c.       Kepemilikan Negara (milkiyatu daulah)


Artinya harta-harta kekayaan tertentu hanya boleh dimiliki dan dikelola oleh pihak-pihak tertentu yang sesuai dengan jenis kepemilikannya. Seperti harta yang termasuk dalam jenis kepemillikan umum, harta tersebut hanya boleh dimiliki oleh umum (masyarakat), dan tidak dibolehkan apabila sampai dimiliki oleh individu maupun negara.

Sebagaimana tersirat dalam hadits Nabi Saw yang diriwayatkan imam Tirmidzi dari Abyadh bin Hamal, bahwa ia (Abyadh bin Hamal) telah meminta kepada Rasulullah Saw agar diperbolehkan untuk memiliki dan mengelola sebuah tambang garam. Lalu Rasulullah Saw memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki dari majlis tersebut bertanya, “Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu bagaikan air yang mengalir.” Rasulullah Saw kemudian menarik kembali pemberian tambang tersebut darinya (dari Abyadh bin Hamal). Maksud dari ‘bagaikan air yang mengalir’ adalah sesuatu yang melimpah, sehingga Rasulullah pun mengambil alih kembali tambang tersebut, oleh sebab barang tambang yang melimpah di alam status kepemilikannya adalah milik umum (masyarakat) bukan individu.

Demikian juga sebaliknya, harta individu tidak dibolehkan untuk dimilliki oleh umum kecuali dengan jalan yang dibenarkan menurut syara’. Demikian juga dengan harta yang berjenis kepemilikan negara, juga memiliki konsekuensi yang sama dengan sebelumnya, tidak dapat menjadi milik individu ataupun umum kecuali dengan jalan yang dibenarkan menurut syara’.

Dengan demikian dapat diberi pengertian terhadap konsep kepemilikan (al-milkiyah), bahwa kepemilikan adalah izin dari syari’ (Allah Swt) kepada manusia untuk memanfaatkan suatu harta benda.[iv]

Adapun pemanfaatan kepemilikan terhadap harta dalam ekonomi Islam disandarkan pada asas halal-haram dalam hukum yang lima (ahkamul khamsah) yaitu wajib, sunah, haram, makruh dan mubah. Sedangkan golongan pemanfaatannya terbagi menjadi dua, yaitu dengan pembelanjaan harta (infaqul maal) dan dengan pengembangan harta (tanmiyatul maal). Pembelanjaan harta yaitu seperti nafkah, hadiah, zakat, shodaqoh dan lain sebagainya yang memiliki sifat konsumtif. Adapun pengembangan harta adalah dengan niat menjadikan harta tersebut bertambah, yaitu seperti berdagang (tijarah), bertani (zara’ah), industry (shina’ah) dan lain sebagainya, semuanya harus mengikuti hukum Islam mengenai perkara tersebut.

Dengan demikian dapat diberi pengertian terhadap konsep pemanfaatan kepemilikan (tasyarruf fil milkiyah), bahwa pemanfaatan kepemilikan adalah tata cara yang wajib dilaksanakan seorang muslim pada saat menggunakan harta benda.[v]

Sedangkan dalam masalah pendistribusian harta kepada masyarakat, konsep ekonomi Islam memiliki dua metode. Yaitu metode ekonomi dan metode non ekonomi. Metode ekonomi adalah metode yang berjalan secara alamiah. Metode ekonomi dapat berjalan melalui sebab-sebab kepemilikan harta individu, seperti bekerja. Juga dapat terjadi melalui akad-akad ekonomi yang terjadi diantara sesama masyarakat, seperti akad jual beli (bai’), mudharabah, sewa-menyewa (ijarah) dan lain sebagainnya. Adapun metode non ekonomi adalah cara yang dilakukan dimana pelaku yang bertindak sebagai distributor tunggal tidak lain adalah negara. Harta tersebut adalah zakat, sebab tuntutan syara’ mengenai ini adalah negara, dimana pemungutnya adalah Negara maka pendistribusiannya pun oleh negara. Sebagaimana dijelaskan dalam QS: at-Taubah 103:

Artinya:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.”


Perintah kata “ambillah” ditafsirkan sebagai perintah yang harus dilakukan negara kepada harta masyarakatnya yang tergolong sebagai muzakki. Namun demikian harta yang tergolong kekayaan dimana pendistribusiannya dilakukan oleh negara, bukan hanya zakat. Melainkan juga bisa berasal dari harta milik negara itu sendiri. Seperti saat negara ingin memberikan hartanya secara cuma-cuma kepada masyarakat. Atau negara juga bisa mendistribusikan harta dari jenis kepemilikan umum yang teknis pengelolaannya diserahkan kepada negara, seperti hasil dari pengeksplorasian barang tambang.

Dengan demikian dapat diberi pengertian terhadap distribusi kekayaan (tauzi’u tsarwah), bahwa distribusi kekayaan menurut ekonomi Islam adalah hukum-hukum syar’i yang ditetapkan untuk menjamin individu memperoleh harta benda.[vi]

Pembahasan diatas dapat digambarkan sebagai berikut: 

Tabel 1.
Sistem Ekonomi Islam yang diperbandingkan
ASAS EKONOMI
SISTEM EKONOMI
ISLAM
SISTEM EKONOMI KAPITALISME
SISTEM EKONOMI SOSIALISME
Kepemilikan
Individu
Mobil, rumah, laptop, televisi, dsb.
Individu
Negara
Umum
Barang tambang, jalan, pulau dsb (tidak boleh dimiliki individu maupun negara)
Negara
Jizyah, ghanimah, fa’i, kharaj, dharibah, dsb.
Pemanfaatan Kepemilikan
Berdasar asas Halal-Haram
Pembelanjaan Harta
Berdasar asas Manfaat (Utilitarianisme)
Berdasarkan asas manfaat (Dialektika materialisme)
Pengembangan Harta
Distribusi Kekayaan
Individu
Hukum Islam tentang bai’, mudharabah, ijarah dsb.
Individu (Mekanisme pasar) meminimalisir campur tangan negara
Negara
Negara
Non-Ekonomi


      Pengertian Ilmu Ekonomi Islam
      Ilmu Ekonomi Islam
      Ekonomi Islam memandang bahwa ilmu ekonomi adalah bagian dari kajian ekonomi yang hanya membahas masalah teknis dalam penerapan sistem ekonomi. Ilmu ekonomi lebih spesifik hanya membahas masalah tata cara dalam memproduksi barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

      Seperti masalah bagaimana meningkatkan produksi beras yang biasanya hanya 0,8 ton beras per panen menjadi 1 ton beras per panen dengan luas sawah yang sama. Apakah dengan menggunakan pupuk dengan kualitas tinggi namun dengan biaya pupuk yang juga tinggi tetapi hasil yang akan melimpah, ataukah dengan pupuk kualitas sedang yang hanya memerlukan biaya sedang namun peningkatan produksi pun tidak seberapa.

      Perkara seperti diuraikan diatas adalah perkara yang merupakan tata cara teknis (ilmu) yang sifatnya tidak berbeda apabila berada dalam suatu sistem ekonomi tertentu. Baik dalam sistem ekonomi Kapitalisme, Sosialisme atau bahkan Ekonomi Islam. Semua sistem ekonomi akan sama pendapatnya, yaitu memilih cara terbaik, efektif dan efisien dalam meningkatkan produksi berasnya, menguntungkan dan tidak merugikat.

      Namun begitu, ekonomi Islam tidak menerima semua tata cara teknis tersebut diadopsi dalam ilmu ekonomi Islam. Ekonomi Islam hanya mengadopsi tata cara yang secara hukum Islam tidak bertentangan dengannya. Seperti dalam upayanya meningkatkan produksi beras namun menggunakan pupuk yang berasal dari benda najis, dimana sebagian ulama memberikan status haram dalam pemanfaatan benda najis. Sehingga tidak dibenarkan dan bahkan diharamkan apabila ingin meningkatkan produksi beras namun dengan menggunakan pupuk yang najis.
      
      Dalam hal lain Nabi Saw pun menyampaikan dengan pernyataan: “kamu lebih mengetahui urusan duniamu”. Hadits ini sebagai jawaban atas masalah penyerbukan kurma yang tidak berhasil dilakukan oleh seorang muslim setelah meminta pendapat kepada baginda Rasulullah Saw. Hadits ini pun memberikan pesan pada kita bahwa dalam masalah teknis memproduksi barang dan jasa perkaranya diserahkan kepada manusia.

      Dengan demikian ilmu ekonomi Islam dapat diberi pengertian sebagai pemikiran Islami yang berkaitan dengan pengaturan urusan harta.

b.     Teori dan Hukum Ekonomi Islam
     Adapun mengenai sebuah teori-teori ekonomi yang biasa dikenal selama ini, maka perlu dilihat lebih teliti mengenai teori-teori tersebut. apakah teori tersebut merupakan teori yang mengungkapkan suatu fakta saja, ataukah teori ekonomi tersebut mengarah pada suatu praktek ekonomi dimana manusia memiliki pilihan untuk menerapkannya atau tidak.
    
     Biasanya teori ekonomi yang hanya mengungkapkan suatu realitas perekonomian merupakan teori yang termasuk didalam ilmu ekonomi, dimana ilmu ekonomi adalah kajian yang tidak ada hubungannya dengan sistem ekonomi tertentu. Sehingga sistem ekonomi manapun dapat pula menggunakannya. Sedangkan teori-teori ekonomi yang mengarahkan manusia untuk melakukan suatu praktek perekonomian dimana manusia memiliki pilihan untuk menerapkannya atau tidak, biasanya teori tersebut adalah bagian inheren dari sistem ekonomi tertentu, dimana teori tersebut tidak akan berlaku apabila manusia hidup dalam sistem ekonomi yang berbeda dengannya.

     Teori dan hukum permintaan, penawaran, teori keseimbangan (equilibrium), teori elastisitas, teori nilai, hukum Gossen dan teori semacamnya adalah contoh dari teori dan hukum ekonomi yang hanya mengungkapkan suatu realitas alamiah (sunnatullah) dalam bentuk kurva dan atau kalimat pernyataan. Sehingga apabila ada usaha untuk merubah realitas alamiah tersebut baik itu dilakukan oleh individu maupun pemerintah, maka yang akan terjadi adalah kerusakan dan kekacauan didalamnya dalam jangka waktu yang relatif dekat. Sebab hendak merubah aturan alam yang bersifatsunnatullah. Sehingga teori dan hukum ekonomi seperti ini tentu tidak terikat dengan suatu sistem ekonomi tertentu, apapun sistem ekonominya, baik Kapitalisme, Sosialisme maupun Islam akan dapat menggunakannya. Dengan demikian teori dan hukum ekonomi seperti ini juga dapat dikategorikan sebagai teori dan hukum ekonomi dalam ilmu ekonomi Islam, karena tidak bertentangan dengan hukum-hukum syara’.

    Sedangkan teori dan hukum ekonomi seperti teori inflasi (irving Fisher), teori bunga uang (Keynes), teori law of capital accumulation (Smith), laissez faire laissez passer (Smith), teori sewa tanah (land rent) Ricardo, teori upah alami (Ricardo), teori nilai lebih (surplus value) Marx, teori populasi (Malthus), dan teori ekonomi semacamnya adalah teori yang tergolong sebagai teori yang terikat pada suatu sistem ekonomi tertentu. Keberadaanya tidak lain sebagai perpanjangan dari sistem ekonomi tertentu. Teori-teori seperti ini tentu tidak akan hidup dan berguna pada masyarakat yang menggunakan sistem ekonomi yang berbeda dengan sistem ekonomi asal teori tersebut ada.

      Seperti teori Smith tentang laissez faire laissez passer yang berarti agar praktek dan masalah ekonomi diserahkan pada mekanisme pasar, sebisa mungkin pemerintah untuk tidak turut campur dalam masalah ekonomi, sebab masalah apapun yang muncul menurut teori tersebut akan dapat diselesaikan dengan invisible hand dalam mekanisme pasar.[vii] Tentu teori ini tidak akan berlaku dalam sistem ekonomi Sosialisme dimana faktor-faktor produksi tidak boleh diserahkan pada pasar, sehingga peran negara terhadap perekonomian dalam Sosialisme harus penuh, bukan justru diminimalisir. Demikian juga teori ini tidak dapat hidup dalam sistem ekonomi Islam, sebab hukum Islam terhadap mekanisme pasar tergantung pada siapa yang berhak memiliki faktor-faktor produksi tersebut. Hanya pada faktor-faktor produksi dengan jenis kepemilikan individu saja mekanisme pasar dalam ekonomi Islam bisa berlaku. Namun tidak demikian dalam faktor-faktor produksi yang berjenis kepemilikan umum/masyarakat, maka tidak ada mekanisme pasar didalamnya karena tidak dibolehkan individu dari masyarakat memilikinya. Dalam ekonomi Islam tidak semua faktor-faktor produksi boleh dimiliki individu sebagaimana Kapitalisme, juga tidak semua faktor-faktor produksi harus dimiliki oleh negara sebagaimana Sosialisme. Ekonomi Islam berbeda dengan yang lain.

    Teori-teori tersebut tidak berlaku pada semua sistem ekonomi sebab teori-teori ekonomi tersebut adalah teori-teori ekonomi yang bukan untuk mengungkapkan suatu realitas alamiah semata, melainkan untuk mengarahkan manusia untuk mempraktekkan suatu aktivitas ekonomi dimana manusia memiliki pilihan untuk menerapkannya atau tidak.

      Oleh karena itu teori dan hukum ekonomi Islam yang tergolong dalam sistem ekonomi Islam tidak lain adalah teori dan hukum-hukum yang sudah ada dan termaktub dalam al-Qur’an, Hadits Nabi saw, Ijma Shahabat dan Qiyas. Apabila terjadi perbedaan pendapat antara ekonom muslim dalam masalah teori dan hukum pada sistem ekonomi Islam, maka yang berlaku adalah apa yang diadopsi oleh pemimpin dan penguasa masyarakat dimana sistem ekonomi Islam tersebut diterapkan. Sehingga perbedaan menjadi hilang karena keputusan amir. Sebagaimana tersebut dalam kaidah fiqih, “amrul imam yarfa’ul khilaf” yang berarti: keputusan imam menghilangkan perbedaan.

    Sedangkan teori dan hukum ekonomi Islam yang tergolong dalam ilmu ekonomi Islam tidak harus berasal dari sumber-sumber hukum Islam, melainkan juga bisa berasal dari selain itu sepanjang tidak bertentangan dengannya.

3.      Ruang Lingkup Sistem dan Ilmu Ekonomi Islam
       Arti dan perbedaan sistem ekonomi Islam dengan ilmu ekonomi Islam telah diuraikan sebagaimana penjelasan di atas, namun demikian akan lebih mudah apabila dirangkumkan dalam bentuk yang lebih lugas sebagaimana berikut:

Table 2.
Perbedaan Sistem dan Ilmu Ekonomi Islam
Ruang Lingkup
Sistem Ekonomi Islam
Ilmu Ekonomi Islam

Cakupan
a.       Kepemilikan
b.      Pemanfaatan Kepemilikan
c.       Distribusi Kekayaan
Tata cara teknis memproduksi barang dan jasa

Karakter
Khas/Unik
(hanya untuk satu sistem Ekonomi)
Universal
(berlaku bagi semua sistem ekonomi)

Sumber
a.       al-Qur’an
b.      Hadits Nabi Saw.
c.       Ijma Shahabat
d.      dan Qiyas
Bisa berasal dari mana saja sepanjang tidak bertentangan dengan dengan sumber-sumber hukum Islam



[i] Krismiaji, Sistem Informasi Akuntansi, AMP Ykpn, Yogyakarta, 2002, hal. 1-2.
[ii] Op.cit, hal. 52.
[iii] Tim Abdi Guru (Wahyu Adji, Suwerli dan Suratno), Ekonomi SMA untuk SMA Kelas X, Erlangga, Jakarta, 2004, hal. 34-36.
[iv] Op.cit,, Taqyuddin an-Nabhani, hal. 67.
[v] Ibid. hal. 127.
[vi] Ibid., hal. 271.
[vii] Op.cit. Deliarnov, hal. 32

Sumber tulisan: ekonomipolitikislam.blogspot.com

*Penulis M. Baiquni Shihab adalah Dosen STEI Hamfara Yogyakarta

Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Kantor Seketariat: Kampus STEI Hamfara Yogyakarta Dusun Kenalan, Desa Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Bantul 085 22 88 33 130 / kastratekis@gmail.com Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Membumikan Sistem Ekonomi Islam - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Modified by Lutfi Sarif Hidayat