Pengertian Sistem Ekonomi Islam
Menurut West Churchman, sistem adalah serangkaian komponen yang dikoordinasikan
untuk mencapai serangkaian tujuan. Dengan demikian sebuah sistem memiliki tiga
karakteristik, yaitu komponen, proses, dan tujuan. Namun begitu, hal yang
paling utama untuk diperhatikan adalah komponennya itu sendiri. Sebab proses
dan tujuan hanya sebagai pelengkap dari sebuah sistem.[i]
Sistem ekonomi
Kapitalisme dan sistem ekonomi Sosialisme tidak dapat bersatu dan bahkan saling
bersaing di dunia untuk saling mengalahkan, disebabkan oleh perbedaan komponen
dan sumber komponennya. Dengan demikian untuk melihat bentuk sistem ekonomi
Islam tidak lain kecuali dengan melihat dari komponen dan sumber komponennya.
Apabila melihat kembali pengertian ekonomi Islam
diatas yang mengartikan pengaturan urusan harta dari sudut pandang Islam, maka
dapat terlihat komponen dari sistem ekonomi Islam. Yaitu komponennya adalah
hukum (syariah) dan sumber komponennya adalah berasal dari Islam. Dengan
demikian sistem ekonomi Islam dapat diambil suatu pengertian darinya sebagai hukum-hukum
syariah yang berkaitan dengan pengaturan urusan harta.[ii]
Namun begitu suatu bentuk sistem ekonomi
biasanya diperbandingkan melalui hal yang paling mendasar, yaitu masalah pokok
ekonomi. Adapun masalah pokok ekonomi menurut teori ilmu ekonomi klasik adalah
masalah sistem produksi, sistem distribusi dan sistem konsumsi.
Inti pembahasan dari masalah produksi,
distribusi dan konsumsi sebenarnya adalah pembahasan masalah fundamental
perekonomian yang dihadapi setiap masyarakat. Adapun masalah fundamental perekonomian
yang dihadapi masyarakat adalah pertanyaan terhadap barang dan jasa dalam
rangka memenuhi kebutuhan hidup manusia. Seperti pertanyaan barang dan jasa apa
yang akan diproduksi (what), siapa yang berhak menjadi pelaku produksi (who),
bagaimana cara proses produksi tersebut dilakukan (how), dan untuk siapa
barang dan jasa hasil produksi tersebut (for whom).[iii]
Untuk memudahkan dalam melihat bentuk sistem ekonomi Islam, maka
inti pertanyaan terhadap barang dan jasa sebagai pemenuh kebutuhan hidup
manusia tersebut dapat disederhanakan dengan tiga komponen, yaitu konsep
kepemilikan (al-milkiyah), konsep pemanfaatan kepemilikan (tasharruf
fil milkiyah) dan konsep distribusi kekayaan ditengah-tengah masyarakat (tauzi’u
tsarwah baina an-nas).
Dengan digambarkannya sistem ekonomi dengan tiga
bagian tersebut (kepemilikan, pemanfaaatan dan distribusi) maka kita akan
dengan mudah melihat sistem ekonomi Islam secara global. Sekaligus dapat pula
dengan gamblang saat membedakannya dengan sistem ekonomi lainnya. Sebab letak
perbedaan antara satu sistem ekonomi dengan sistem ekonomi lainnya terletak
pada tiga poin tersebut, yaitu jenis-jenis kepemilikan terhadap harta, cara
memanfaatkan harta dan cara membagikan harta tersebut kepada masyarakat.
Dalam ekonomi Islam konsep kepemilikan terbagi
tiga, yaitu:
a. Kepemilikan Individu (milkiyatu fardiyah)b. Kepemilikan umum (milkiyatu ‘ammah)c. Kepemilikan Negara (milkiyatu daulah)
Artinya harta-harta kekayaan tertentu hanya
boleh dimiliki dan dikelola oleh pihak-pihak tertentu yang sesuai dengan jenis
kepemilikannya. Seperti harta yang termasuk dalam jenis kepemillikan umum,
harta tersebut hanya boleh dimiliki oleh umum (masyarakat), dan tidak
dibolehkan apabila sampai dimiliki oleh individu maupun negara.
Sebagaimana tersirat dalam hadits Nabi Saw yang
diriwayatkan imam Tirmidzi dari Abyadh bin Hamal, bahwa ia (Abyadh bin Hamal)
telah meminta kepada Rasulullah Saw agar diperbolehkan untuk memiliki dan
mengelola sebuah tambang garam. Lalu Rasulullah Saw memberikannya. Setelah ia
pergi, ada seorang laki-laki dari majlis tersebut bertanya, “Wahai
Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya
engkau telah memberikan sesuatu bagaikan air yang mengalir.” Rasulullah Saw
kemudian menarik kembali pemberian tambang tersebut darinya (dari Abyadh bin
Hamal). Maksud dari ‘bagaikan air yang mengalir’ adalah sesuatu yang melimpah,
sehingga Rasulullah pun mengambil alih kembali tambang tersebut, oleh sebab
barang tambang yang melimpah di alam status kepemilikannya adalah milik umum
(masyarakat) bukan individu.
Demikian juga sebaliknya, harta individu tidak
dibolehkan untuk dimilliki oleh umum kecuali dengan jalan yang dibenarkan
menurut syara’. Demikian juga dengan harta yang berjenis
kepemilikan negara, juga memiliki konsekuensi yang sama dengan sebelumnya,
tidak dapat menjadi milik individu ataupun umum kecuali dengan jalan yang
dibenarkan menurut syara’.
Dengan demikian dapat diberi pengertian terhadap
konsep kepemilikan (al-milkiyah), bahwa kepemilikan adalah izin
dari syari’ (Allah Swt) kepada manusia untuk memanfaatkan
suatu harta benda.[iv]
Adapun pemanfaatan kepemilikan terhadap harta
dalam ekonomi Islam disandarkan pada asas halal-haram dalam hukum yang lima (ahkamul
khamsah) yaitu wajib, sunah, haram, makruh dan mubah. Sedangkan golongan
pemanfaatannya terbagi menjadi dua, yaitu dengan pembelanjaan harta (infaqul
maal) dan dengan pengembangan harta (tanmiyatul maal). Pembelanjaan
harta yaitu seperti nafkah, hadiah, zakat, shodaqoh dan lain sebagainya yang
memiliki sifat konsumtif. Adapun pengembangan harta adalah dengan niat
menjadikan harta tersebut bertambah, yaitu seperti berdagang (tijarah),
bertani (zara’ah), industry (shina’ah) dan lain sebagainya,
semuanya harus mengikuti hukum Islam mengenai perkara tersebut.
Dengan demikian dapat diberi pengertian terhadap
konsep pemanfaatan kepemilikan (tasyarruf fil milkiyah), bahwa
pemanfaatan kepemilikan adalah tata cara yang wajib dilaksanakan
seorang muslim pada saat menggunakan harta benda.[v]
Sedangkan dalam masalah pendistribusian harta
kepada masyarakat, konsep ekonomi Islam memiliki dua metode. Yaitu metode
ekonomi dan metode non ekonomi. Metode ekonomi adalah metode yang berjalan
secara alamiah. Metode ekonomi dapat berjalan melalui sebab-sebab kepemilikan
harta individu, seperti bekerja. Juga dapat terjadi melalui akad-akad ekonomi
yang terjadi diantara sesama masyarakat, seperti akad jual beli (bai’),
mudharabah, sewa-menyewa (ijarah) dan lain sebagainnya. Adapun metode
non ekonomi adalah cara yang dilakukan dimana pelaku yang bertindak sebagai
distributor tunggal tidak lain adalah negara. Harta tersebut adalah zakat,
sebab tuntutan syara’ mengenai ini adalah negara, dimana
pemungutnya adalah Negara maka pendistribusiannya pun oleh negara. Sebagaimana
dijelaskan dalam QS: at-Taubah 103:
Artinya:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka,
dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk
mereka.”
Perintah kata “ambillah” ditafsirkan sebagai
perintah yang harus dilakukan negara kepada harta masyarakatnya yang tergolong
sebagai muzakki. Namun demikian harta yang tergolong kekayaan
dimana pendistribusiannya dilakukan oleh negara, bukan hanya zakat. Melainkan
juga bisa berasal dari harta milik negara itu sendiri. Seperti saat negara
ingin memberikan hartanya secara cuma-cuma kepada masyarakat. Atau negara juga
bisa mendistribusikan harta dari jenis kepemilikan umum yang teknis
pengelolaannya diserahkan kepada negara, seperti hasil dari pengeksplorasian
barang tambang.
Dengan demikian dapat diberi pengertian terhadap
distribusi kekayaan (tauzi’u tsarwah), bahwa distribusi kekayaan menurut
ekonomi Islam adalah hukum-hukum syar’i yang
ditetapkan untuk menjamin individu memperoleh harta benda.[vi]
Pembahasan diatas dapat digambarkan sebagai
berikut:
Tabel 1.
Sistem Ekonomi Islam yang diperbandingkan
ASAS
EKONOMI
|
SISTEM
EKONOMI
ISLAM
|
SISTEM
EKONOMI KAPITALISME
|
SISTEM
EKONOMI SOSIALISME
|
|
Kepemilikan
|
Individu
|
Mobil, rumah, laptop, televisi,
dsb.
|
Individu
|
Negara
|
Umum
|
Barang tambang, jalan, pulau dsb
(tidak boleh dimiliki individu maupun negara)
|
|||
Negara
|
Jizyah, ghanimah, fa’i, kharaj,
dharibah, dsb.
|
|||
Pemanfaatan Kepemilikan
|
Berdasar asas Halal-Haram
|
Pembelanjaan Harta
|
Berdasar asas Manfaat
(Utilitarianisme)
|
Berdasarkan asas manfaat
(Dialektika materialisme)
|
Pengembangan Harta
|
||||
Distribusi Kekayaan
|
Individu
|
Hukum Islam tentang bai’,
mudharabah, ijarah dsb.
|
Individu (Mekanisme pasar)
meminimalisir campur tangan negara
|
Negara
|
Negara
|
Non-Ekonomi
|
Pengertian Ilmu Ekonomi Islam
Ilmu Ekonomi Islam
Ekonomi Islam memandang bahwa ilmu ekonomi
adalah bagian dari kajian ekonomi yang hanya membahas masalah teknis dalam
penerapan sistem ekonomi. Ilmu ekonomi lebih spesifik hanya membahas masalah
tata cara dalam memproduksi barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat.
Seperti masalah bagaimana meningkatkan produksi
beras yang biasanya hanya 0,8 ton beras per panen menjadi 1 ton beras per panen
dengan luas sawah yang sama. Apakah dengan menggunakan pupuk dengan kualitas
tinggi namun dengan biaya pupuk yang juga tinggi tetapi hasil yang akan
melimpah, ataukah dengan pupuk kualitas sedang yang hanya memerlukan biaya
sedang namun peningkatan produksi pun tidak seberapa.
Perkara seperti diuraikan diatas adalah perkara
yang merupakan tata cara teknis (ilmu) yang sifatnya tidak berbeda apabila
berada dalam suatu sistem ekonomi tertentu. Baik dalam sistem ekonomi
Kapitalisme, Sosialisme atau bahkan Ekonomi Islam. Semua sistem ekonomi akan
sama pendapatnya, yaitu memilih cara terbaik, efektif dan efisien dalam
meningkatkan produksi berasnya, menguntungkan dan tidak merugikat.
Namun begitu, ekonomi Islam tidak menerima semua
tata cara teknis tersebut diadopsi dalam ilmu ekonomi Islam. Ekonomi Islam
hanya mengadopsi tata cara yang secara hukum Islam tidak bertentangan
dengannya. Seperti dalam upayanya meningkatkan produksi beras namun menggunakan
pupuk yang berasal dari benda najis, dimana sebagian ulama memberikan status
haram dalam pemanfaatan benda najis. Sehingga tidak dibenarkan dan bahkan
diharamkan apabila ingin meningkatkan produksi beras namun dengan menggunakan
pupuk yang najis.
Dalam hal lain Nabi Saw pun menyampaikan dengan
pernyataan: “kamu lebih mengetahui urusan duniamu”. Hadits ini sebagai jawaban
atas masalah penyerbukan kurma yang tidak berhasil dilakukan oleh seorang
muslim setelah meminta pendapat kepada baginda Rasulullah Saw. Hadits ini pun
memberikan pesan pada kita bahwa dalam masalah teknis memproduksi barang dan
jasa perkaranya diserahkan kepada manusia.
Dengan demikian ilmu ekonomi Islam dapat diberi
pengertian sebagai pemikiran Islami yang berkaitan dengan pengaturan
urusan harta.
b. Teori dan Hukum Ekonomi Islam
Adapun mengenai sebuah teori-teori ekonomi yang
biasa dikenal selama ini, maka perlu dilihat lebih teliti mengenai teori-teori
tersebut. apakah teori tersebut merupakan teori yang mengungkapkan suatu fakta
saja, ataukah teori ekonomi tersebut mengarah pada suatu praktek ekonomi dimana
manusia memiliki pilihan untuk menerapkannya atau tidak.
Biasanya teori ekonomi yang hanya mengungkapkan
suatu realitas perekonomian merupakan teori yang termasuk didalam ilmu ekonomi,
dimana ilmu ekonomi adalah kajian yang tidak ada hubungannya dengan sistem
ekonomi tertentu. Sehingga sistem ekonomi manapun dapat pula menggunakannya.
Sedangkan teori-teori ekonomi yang mengarahkan manusia untuk melakukan suatu
praktek perekonomian dimana manusia memiliki pilihan untuk menerapkannya atau
tidak, biasanya teori tersebut adalah bagian inheren dari sistem ekonomi
tertentu, dimana teori tersebut tidak akan berlaku apabila manusia hidup dalam
sistem ekonomi yang berbeda dengannya.
Teori dan hukum permintaan, penawaran, teori
keseimbangan (equilibrium), teori elastisitas, teori nilai, hukum Gossen
dan teori semacamnya adalah contoh dari teori dan hukum ekonomi yang hanya
mengungkapkan suatu realitas alamiah (sunnatullah) dalam bentuk kurva
dan atau kalimat pernyataan. Sehingga apabila ada usaha untuk merubah realitas
alamiah tersebut baik itu dilakukan oleh individu maupun pemerintah, maka yang
akan terjadi adalah kerusakan dan kekacauan didalamnya dalam jangka waktu yang
relatif dekat. Sebab hendak merubah aturan alam yang bersifatsunnatullah.
Sehingga teori dan hukum ekonomi seperti ini tentu tidak terikat dengan suatu
sistem ekonomi tertentu, apapun sistem ekonominya, baik Kapitalisme, Sosialisme
maupun Islam akan dapat menggunakannya. Dengan demikian teori dan hukum ekonomi
seperti ini juga dapat dikategorikan sebagai teori dan hukum ekonomi dalam ilmu
ekonomi Islam, karena tidak bertentangan dengan hukum-hukum syara’.
Sedangkan teori dan hukum ekonomi seperti teori
inflasi (irving Fisher), teori bunga uang (Keynes), teori law of capital
accumulation (Smith), laissez faire laissez passer (Smith),
teori sewa tanah (land rent) Ricardo, teori upah alami (Ricardo), teori
nilai lebih (surplus value) Marx, teori populasi (Malthus), dan teori
ekonomi semacamnya adalah teori yang tergolong sebagai teori yang terikat pada
suatu sistem ekonomi tertentu. Keberadaanya tidak lain sebagai perpanjangan
dari sistem ekonomi tertentu. Teori-teori seperti ini tentu tidak akan hidup
dan berguna pada masyarakat yang menggunakan sistem ekonomi yang berbeda dengan
sistem ekonomi asal teori tersebut ada.
Seperti teori Smith tentang laissez
faire laissez passer yang berarti agar praktek dan masalah ekonomi
diserahkan pada mekanisme pasar, sebisa mungkin pemerintah untuk tidak turut
campur dalam masalah ekonomi, sebab masalah apapun yang muncul menurut teori
tersebut akan dapat diselesaikan dengan invisible hand dalam
mekanisme pasar.[vii] Tentu
teori ini tidak akan berlaku dalam sistem ekonomi Sosialisme dimana
faktor-faktor produksi tidak boleh diserahkan pada pasar, sehingga peran negara
terhadap perekonomian dalam Sosialisme harus penuh, bukan justru diminimalisir.
Demikian juga teori ini tidak dapat hidup dalam sistem ekonomi Islam, sebab
hukum Islam terhadap mekanisme pasar tergantung pada siapa yang berhak memiliki
faktor-faktor produksi tersebut. Hanya pada faktor-faktor produksi dengan jenis
kepemilikan individu saja mekanisme pasar dalam ekonomi Islam bisa berlaku.
Namun tidak demikian dalam faktor-faktor produksi yang berjenis kepemilikan
umum/masyarakat, maka tidak ada mekanisme pasar didalamnya karena tidak
dibolehkan individu dari masyarakat memilikinya. Dalam ekonomi Islam tidak
semua faktor-faktor produksi boleh dimiliki individu sebagaimana Kapitalisme,
juga tidak semua faktor-faktor produksi harus dimiliki oleh negara sebagaimana
Sosialisme. Ekonomi Islam berbeda dengan yang lain.
Teori-teori tersebut tidak berlaku pada semua
sistem ekonomi sebab teori-teori ekonomi tersebut adalah teori-teori ekonomi
yang bukan untuk mengungkapkan suatu realitas alamiah semata, melainkan untuk
mengarahkan manusia untuk mempraktekkan suatu aktivitas ekonomi dimana manusia
memiliki pilihan untuk menerapkannya atau tidak.
Oleh karena itu teori dan hukum ekonomi Islam
yang tergolong dalam sistem ekonomi Islam tidak lain adalah teori dan
hukum-hukum yang sudah ada dan termaktub dalam al-Qur’an, Hadits Nabi saw, Ijma
Shahabat dan Qiyas. Apabila terjadi perbedaan pendapat antara ekonom muslim
dalam masalah teori dan hukum pada sistem ekonomi Islam, maka yang berlaku
adalah apa yang diadopsi oleh pemimpin dan penguasa masyarakat dimana sistem
ekonomi Islam tersebut diterapkan. Sehingga perbedaan menjadi hilang karena keputusan amir.
Sebagaimana tersebut dalam kaidah fiqih, “amrul imam yarfa’ul khilaf”
yang berarti: keputusan imam menghilangkan perbedaan.
Sedangkan teori dan hukum ekonomi Islam yang
tergolong dalam ilmu ekonomi Islam tidak harus berasal dari sumber-sumber hukum
Islam, melainkan juga bisa berasal dari selain itu sepanjang tidak bertentangan
dengannya.
3. Ruang Lingkup Sistem dan Ilmu Ekonomi Islam
Arti dan perbedaan sistem ekonomi Islam dengan
ilmu ekonomi Islam telah diuraikan sebagaimana penjelasan di atas, namun
demikian akan lebih mudah apabila dirangkumkan dalam bentuk yang lebih lugas
sebagaimana berikut:
Table 2.
Perbedaan Sistem dan Ilmu Ekonomi Islam
Ruang
Lingkup
|
Sistem
Ekonomi Islam
|
Ilmu
Ekonomi Islam
|
Cakupan
|
a. Kepemilikan
b. Pemanfaatan Kepemilikan
c. Distribusi Kekayaan
|
Tata cara teknis memproduksi
barang dan jasa
|
Karakter
|
Khas/Unik
(hanya untuk satu sistem Ekonomi)
|
Universal
(berlaku bagi semua sistem
ekonomi)
|
Sumber
|
a. al-Qur’an
b. Hadits Nabi Saw.
c. Ijma Shahabat
d. dan Qiyas
|
Bisa berasal dari mana saja
sepanjang tidak bertentangan dengan dengan sumber-sumber hukum Islam
|
[iii] Tim
Abdi Guru (Wahyu Adji, Suwerli dan Suratno), Ekonomi SMA untuk SMA
Kelas X, Erlangga, Jakarta, 2004, hal. 34-36.
Sumber tulisan: ekonomipolitikislam.blogspot.com
*Penulis M. Baiquni Shihab adalah Dosen STEI Hamfara Yogyakarta
*Penulis M. Baiquni Shihab adalah Dosen STEI Hamfara Yogyakarta
Posting Komentar