Hal mendasar dalam sebuah perekonomian apapun
bentuk sistem ekonominya, maka permasalahan utama yang menjadi bahasan agar
sebuah siklus ekonomi dapat terbentuk adalah masalah produksi, distribusi dan
konsumsi. Ketiga hal inilah yang akan menentukan sebuah sistem ekonomi yang
memliki sebuah ciri yang khas yang membedakan antara sebuah sistem ekonomi yang
satu dengan yang lainnya.
Masalah produksi, distribusi dan konsumsi
adalah masalah pokok ekonomi menurut teori ilmu ekonomi klasik.[1] Sedangkan
menurut ekonomi modern ada beberapa hal rinci lain yang perlu dipertimbangkan,
seperti masalah investasi, tingkat suku bunga, kurs valuta asing, inflasi,
ekspor-impor, berbagai perusahaan besar maupun kecil, pajak, pengangguran,
lingkungan hidup dan lain sebagainya. Demikian kompleksnya masalah ekonomi di
era modern ini membuat masalah produksi, distribusi dan konsumsi menurut
ekonomi klasik memerlukan bahasan yang lebih dalam. Setidaknya ada empat
masalah fundamental perekonomian yang dihadapi setiap masyarakat di era modern.
Yaitu barang dan jasa apa yang akan diproduksi (What), bagaimana cara
proses produksi dilakukan (How), siapa pelaku produksi (Who) dan
untuk siapa barang dan jasa hasil produksi tersebut (For Whom).[2]
1. Produksi
Masalah produksi adalah masalah pembahasan pada tiga awal
masalah pokok ekonomi, yaitu barang dan jasa apa yang akan diproduksi (What),
bagaimana cara proses produksi dilakukan (How), dan siapa pelaku
produksi (Who) yang akan memproses produksi dari input hingga menjadi
output, dan seberapa besar kewenangan pelaku produksi dalam mengambil manfaat
(laba) dari hasil penjualan output produksi.
Faktor-faktor produksi hanya terdiri dari empat macam,
yakni Tanah (Sumber Daya Alam), Sumber Daya Manusia (SDM), Mesin dan Manajemen.[3] Keempatnya
memiliki keterkaitan yang erat. Sir William Pretty (ekonom asal Inggris
pencetus konsep pendapatan nasional[4])
pada abad ke-17 M mengungkapkan hubungannya antar faktor-faktor produksi dengan
mengibaratkan bahwa tenaga kerja (SDM) sebagai ayah dari produk, sedangkan
tanah adalah ibunya. Maka akan menjadi hal yang tidak mudah untuk menentukan
banyaknya hasil kerja yang dapat ditetapkan sebagai prestasi masing-masing
faktor produksi, karena keseluruhan faktor produksi itu saling berinteraksi.[5]
Pendapatan nasional suatu negara pun dihitung berdasarkan
biaya-biaya faktor produksi ditambah laba produksi. Biaya-biaya tersebut adalah
sewa (tanah/SDA) ditambah biaya gaji/upah (SDM) ditambah biaya depresiasi
(Mesin) ditambah laba/keuntungan produksi.[6]
Pendapatan Nasional dihitung dari PNN (Pendapatan
Nasional Netto) dikurangi pajak ditambah subsidi. PNN sendiri merupakan hasil
dari PNB (Produk Nasional Bruto) dikurangi depresiasi. Sedangkan PNB dihitung
dengan menjumlahkan nilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu warga
negara baik yang tinggal di dalam negeri maupun di luar negeri. Nilai produksi
yang dihasilkan oleh faktor-faktor produksi yang digunakan di luar negeri juga dihitung
dalam Produk Nasional Bruto.[7]
Pendapatan perkapita
sering digunakan sebagai tolak ukur kemakmuran dan tingkat pembangunan sebuah negara, semakin besar
pendapatan perkapitanya, semakin makmur negara tersebut. Pendapatan perkapita
adalah besarnya pendapatan rata-rata penduduk di suatu negara. Pendapatan
perkapita didapatkan dari hasil pembagian pendapatan nasional suatu negara dengan jumlah penduduk negara
tersebut. Pendapatan perkapita juga merefleksikan PDB per kapita.[8]
2. Distribusi
Setelah benda pemuas kebutuhan selesai diproduksi,
masalah yang harus dipikirkan adalah bagaimana supaya benda-benda tersebut bisa
sampai ke tangan konsumen yang membutuhkan. Seperti yang telah diketahui,
barang dan jasa yang tidak sampai ke tangan konsumen yang tepat, tidak ada
nilai gunanya, dan tidak dapat memuaskan kebutuhan.
Masalah distribusi adalah masalah untuk siapa (For
Whom) barang dan jasa yang dihasilkan itu. Siapa yang harus dan layak
menikmati dan memperoleh manfaat dari barang dan jasa tersebut. Atau dengan
perkataan lain, bagaimanakah seluruh produk didistribusikan (dibagikan) kepada
anggota masyarakat. Apakah suatu produk ditujukan untuk masyarakat umum atau
untuk segmen pasar tertentu saja.[9]
Cara distribusi
pendapatan nasional akan menentukan bagaimana pandapatan nasional yang tinggi
mampu menciptakan perubahan-perubahan dan perbaikan-perbaikan dalam masyarakat,
seperti mengurangi kemiskinan, pengangguran dan kesulitan-kesulitan lain dalam
masyarakat. Distribusi pendapatan nasional yang tidak merata tidak akan
menciptakan kemakmuran bagi masyarakat secara umum. Sistem distribusi yang
tidak merata hanya akan menciptakan kemakmuran bagi golongan tertentu saja. [10]
Perbedaan pandapatan
diantara masyarakat timbul karena adanya perbedaan dalam kepemilikan sumber
daya dan faktor produksi. Pihak yang memiliki faktor produksi yang lebih banyak
akan memperoleh pendapatan yang lebih banyak juga.
Koefisien Gini merupakan alat yang sering digunakan untuk
menunjukkan merata tidaknya distribusi pendapatan di suatu daerah atau negara.
Koefisien Gini adalah perbandingan antara luas areal kurva Lorenz dan garis
diagonal dengan luas seluruh areal di bawah garis diagonal.[11]
3. Konsumsi
Masalah konsumsi menyangkut permasalahan apakah benda
pemuas kebutuhan yang diproduksi memang benda yang dapat dimiliki oleh
konsumen. Barang yang diproduksi haruslah merupakan benda yang tepat, yaitu
barang yang memang dibutuhkan, diinginkan, dan mampu dibeli oleh konsumen.
Misalnya, tidak ada gunanya membuat kapal atau perahu di daerah yang tidak
memiliki pantai. Selain itu tidak ada gunanya menjual barang kepada konsumen
yang tidak memiliki kemampuan untuk membelinya. Dengan kata lain, masalah
konsumsi adalah persoalan kebutuhan, selera, serta daya beli konsumen.[12]
Pada tingkat makro, Obsesi informal dan beberapa
penelitian statistik memperlihatkan bahwa pendapatan merupakan faktor utama
dalam menentukan konsumsi nasional. Pengeluaran untuk konsumsi nasional bergerak
seirama dengan tingkat kegiatan perekonomian. Faktor penentu yang penting dalam
fluktuasi pengeluaran untuk konsumsi adalah fluktuasi pendapatan disposabel.
Maka ramalan yang baik bagi tingkat konsumsi adalah data mengenai pendapatan.[13]
Pendapatan disposabel (pendapatan yang dapat
dibelanjakan) adalah penghasilan individu
dalam suatu perekonomian yang bersih dan sudah bisa dibelanjakan secara
keseluruhan setelah pendapatan nasional dikurangi dengan pajak penghasilan
perseorangan. Rumus pendapatan perorangan yang dapat dibelanjakan : Pendapatan
personal yang dapat dibelanjakan = pendapatan personal - pajak pendapatan
personal.[14]
Ekonomi Politik Internasional
Dalam disiplin ilmu
hubungan internasional, ekonomi politik internasional terpecah ke dalam ilmu
politik internasional dan ilmu ekonomi internasional. Factor politik umumnya
diabaikan oleh para ekonom yang menganalisis proses dan kebijakan ekonomi
internasional, demikian juga ilmuwan politik menganggap persoalan ekonomi
sebagai lower politics, bukan bagian pokok dalam hubungan
internasional.[1]
Secara historis, setidaknya ada beberapa
fenomena yang menimbulkan kesadaran bahwa ekonomi politik internasional menjadi
urgen untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam mengatur urusan ekonomi domestik
maupun nasional, kebijakan ekonomi luar negeri, ekonomi internasional, dan
konflik internasional. Fenomena tersebut adalah sebagai berikut:[2]
1. Fenomena Negara
Berkembang
Munculnya fenomena negara kurang berkembang memunculkan cabang
baru dari ilmu ekonomi, yaitu ekonomi pembangunan. Sebelum tahun 1960, suara
masyarakat tanah jajahan hanya terdengar melalui mulut negara penjajahnya.
Bahwa tempat tanah jajahan itu dalam ekonomi dunia adalah sebagai penghasil
bahan mentah atau semi-manufaktur untuk dimanfaatkan oleh negara industri maju.
Sudah diketahui bahwa penduduk asli tanah jajah itu selalu dirundung
kemiskinan, tetapi itu selalu dipandang sebagai akibat dari kondisi kelembagaan
dan perilaku yang internal. Tidak ada upaya untuk mengkaitkan kemiskinan itu
dengan tempat si miskin dalam area ekonomi global dan dengan ketimpangan
distribusi pendapatan global.
2. Fenomena Pesatnya Pertumbuhan
Perusahaan Multi-Nasional
Perusahaan yang aktif di berbagai Negara sebetulnya bukan fenomena
baru. Baru menarik perhatian para ilmuan dan analis ketika perusahaan
multi-nasional menjadi begitu besar sehingga secara politik tidak bisa
diabaikan. Pada pertengahan tahun 1950, kegiatan perusahaan multi-nasional
sudah mulai menimbulkan perdebatan mengenai hakikat kedaulatan negara, konsep
penetrasi ke dalam sistem politik suatu negara, dan tentang hakekat kekuatan
ekstra nasional.
3. Fenomena
Kenaikan Harga Minyak
Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran akan
kelangkaan bahan dasar dan energi. Ketika kenaikan harga minyak pada era tahun
1970, ilmuwan ekonomi masih yakin bahwa yang dilakukan oleh negara-negara OPEC
bisa dijelaskan dengan perangkat analis ekonomi konvensional. Negara-negara
pengekspor minyak itu sekedar menerapkan kebijakan ekonomi, yaitu kartel, yang
berhasil menaikkan harga dengan membatasi supply pada kurva
permintaan tidak elastis. Namun untuk melihat sebab diluncurkannya kebijakan
kartel oleh negara-negara OPEC tentu memerlukan bantuan analis politik
internasional, sebab hal tersebut terkait dengan embargo ekonomi negara-negara
OPEC terhadap Amerika yang mendukung pendudukan Israel terhadap Palestina.
4. Fenomena
Stagflasi Negara Industri Maju
Stagflasi yang terjadi pada tahun 1970-an
menimbulkan crisis of control. Banyak pemerintah tidak bisa
mengendalikan perkembangan dunia. Manajemen ekonomi makro tidak mampu menangani
stagflasi. Upaya berbagai pemerintah untuk menyelesaikan persoalan domestik di
arena internasional, karena yakin bahwa disanalah sumbernya. Membuat mereka
yang semula sudah berhasil membangun kerjasama internasional, seperti dalam MEE
atau antara Amerika Serikat dan Jepang, menjadi saling bertikai.
[1] Mohtar Mas’oed, Ekonomi-Politik internasional dan Pembangunan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003,hal. 9
[2] Tim
Abdi Guru (Wahyu Adji, Suwerli dan Suratno), Ekonomi
SMA untuk SMA Kelas X, Erlangga, Jakarta, 2004, hal. 34-36.
[5] Paul
A. Samuelson dan William D. Nordhaus, Ekonomi
– jilid 2,
Erlangga, Jakarta, 1992, hal. 235.
[6] Soediyono Reksoprayitno, Pengantar Ekonomi Makro, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta, 2000, hal. 19-21.
[7] Tim
Penyusun Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (Pribadi setiyanto dan Ayudha
D. Prayogo),Ekonomi Kelas X Semester 2, LPFE UI, 21-22.
[13] Paul
A. Samuelson dan William D. Nordhaus, Ekonomi
– jilid 1,
Erlangga, Jakarta, 1989, hal. 169-170.
[14] http://organisasi.org/rumus-menghitung-pdb-pnb-pnn-pendapatan-nasional-individu-dan-pendapatan-dapat-dibelanjakan.
Sumber tulisan: ekonomipolitikislam.blogspot.com
*Penulis M.Baiquni Shihab, SEI.,MSI adalah Dosen STEI Hamfara Yogyakarta
Posting Komentar