Sistem Distribusi
Tehadap
faktor-faktor produksi yang berimplikasi pada sistem distribusi, seperti tanah
yang menghasilkan jasa sewa, modal yang mengasilkan bunga dan tenaga kerja yang
menghasilkan upah, Hizbut Tahrir memiliki pandangannya sendiri. Terhadap tanah
(lahan), Hizbut Tahrir memandang bahwa tanah tidak memiliki sifat seperti uang
yang dapat disimpan tanpa memiliki tujuan. Tanah dalam pandangan Islam adalah
pemaksaan terhadap pemiliknya untuk mengelolanya, sehingga Islam memiliki
batasan waktu bagi pemiliknya ketika ia tidak mengelolanya, yaitu selama jangka
waktu tiga tahun berturut-turut. Apabila bila jangka waktu tersebut telah
lewat, maka orang lain atas izin negara berhak mengambil hak kepemilikan dari
pemilik asalnya. Dengan demikian aturan Islam yang seperti ini akan menjamin
sebuah dan semua tanah di suatu negeri untuk tetap produktif.
Pertanahan
yang dipraktekkan di Indonesia menurut Hizbut Tahrir telah menyalahi ketentuan
sistem ekonomi Islam, sebab kepemilikan tanah oleh warga Indonesia dijamin oleh
sertifikat sebagai bukti kepemilikan yang tidak memiliki jangka waktu saat
tanah tersebut tidak dikelola. Sehingga ketika ada pihak lain yang mengolahnya
baik dengan maupun tanpa izinnya (baik untuk pertanian maupun membangun
bangunan), saat tanah tersebut tidak diolah pemiliknya selama lebih dari tiga
tahun berturut-turut, maka ketika pemilik asal ingin mengambil alih tanah
tersebut maka orang yang memanfaatkan tanah tersebut tidak dapat berbuat
apa-apa kecuali hanya pasrah dan merelakannya ketika saat dieksekusi. Sebab
tanah tersebut sudah disertifikasi, sehingga membuat hukum yang ada di
Indonesia berpihak kepadanya, sebagaimana persengketaan tanah yang sering
terjadi saat ini.
Sebagaimana
lahan, praktek permodalan di Indonesia juga menurut Hizbut Tahrir telah
menyalahi ketentuan syara’, sebab perbankan nasional menetapkan suku bunga
simpanan dan suku bunga pinjaman saat dananya digunakan nasabahnya baik untuk
kegiatan produktif maupun konsumtif. Pada kegiatan produktif, selain hal
tersebut bersifat riba yang diharamkan, suku bunga juga tidak berprinsip
keadilan dan akan merugikan produsen, sebab saat hasil keadaan usaha bisnis
sedang merugi maka peminjam tetap dikenakan kewajiban mengembalikan modal
beserta bunganya. Dilain pihak perbankan mendapatkan dana tersebut juga
memiliki kewajiban pengembaliannya beserta bunganya kepada pemilik dana
tersebut. Sehingga hal inilah yang sering mengakibatkan keruntuhan perbankan di
Indonesia oleh sebab kredit macet, sebab kredit macet timbul adalah akibat
diterapkannya suku bunga, yang memiliki slogan “berani untung dan tidak mau
rugi”. Faktor inilah yang membuat APBN Indonesia harus selalu menyisihkan
sebagian hartanya untuk dialokasikan pada BLBI (Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia). Namun apabila permodalan usaha bisnis menggunakan kontrak kerjasama
bagi hasil, maka kredit macetpun dapat dihindari, sebab kegiatan kontrak kerjasama
bagi hasil (mudharabah) adalah suatu kegiatan usaha bisnis yang
mengedepankan slogan “berani untung dan berani rugi”.
Adapun terkait
tenaga kerja, maka hal ini sangat erat kaitannya dengan sistem perseroan (syirkah)
yang semua dari faktor-faktor produksi tersebut terkumpul didalamnya. Menurut
Hizbut Tahrir, Islam mengharamkan perseroan saham (Perseroan Terbatas) dan
mengharamkan berkumpulnya beberapa perseroan saham dalam satu perseroan,
seperti perserikatan perusahaan (trust) dan kartel. Sebab syirkah (perseroan)
dalam Islam termasuk kategori aqad, seperti penjualan dan
sewa. Syirkah tidak seperti wakaf dan wasiat yang dilakukan
melalui kehendak sendiri. Oleh karena itu tidak ada perseroan kecuali
perseroan-perseroan yang mereka sendiri secara langsung mengelola perseroan
itu, atau dengan harta mereka bersama-sama sekutunya mengelola perseroan secara
langsung.[1]
Sistem
perseroan di Indonesia yang banyak dipakai dalam BUMN maupun BUMS adalah PT
(Perseroan Terbatas). PT menyalahi ketentuan ekonomi Islam sebab bertentangan
dengan perseroan dalam Islam, yaitu mudharabah. Mudharabah memiliki
ketentuan bagi pengelola (direktur) mendapat bagi hasil bersama pemodal
(pemilik saham), dan bukan diberi gaji (aqad ajiratul ajiir).
Setiap pemilik saham dalam perseroan mudharabah juga tidak sebagaimana pemilik
saham dalam perseroan terbatas, pemilik saham dalam mudharabah memiliki hak
suara dalam menentukan kebijakan perusahaan baik penyertaan modalnya sedikit
maupun banyak.
Perseroan
mudharabah tersebut secara alami tidak akan bisa mengumpulkan modal dalam
jumlah besar. Dengan demikian tidak mungkin menurut hukum-hukum perseroan dalam
Islam membangun sebuah perseroan (usaha bisnis) yang memiliki modal besar,
sehingga mampu membangun perusahaan-perusahaan perdagangan dan
industri-industri besar dan dengan mudahnya mengalahkan pesaing-pesaing
bisnisnya yang masih dalam skala menengah kebawah, sehingga membuat jumlah perusahaan
menjadi lebih sedikit dibanding jumlah tenaga kerja. Dengan demikian tidak akan
ada monopoli industri dan produksi pabrik sebagaimana yang terjadi dalam sistem
kapitalisme.[2]
Menurut Hizbut
Tahrir apabila sistem perseroan Islam yang diterapkan, maka BUMN yang selama
ini mengelola faktor-faktor produksi dari jenis kepemilikan yang boleh dimiliki
individu tentu hanya dapat dikelola oleh negara, sehingga masyarakat tidak
mungkin mampu bersaing dengan usaha milik negara. Sebab usaha dalam skala besar
tersebut jelas membutuhkan modal besar yang tidak mungkin dicapai oleh
perseroan model mudharabah dan perseroan Islam lainnya. Dengan demikian, usaha
dalam faktor-faktor produksi dari jenis kepemilikan individu yang memerlukan
modal besar seperti industri alat, industri mobil, industri kapal dan pesawat,
jasa transportasi darat, laut dan udara, dan lain sebagainya hanya akan dapat
dimiliki negara, walaupun tetap ada kemungkinan swasta untuk bersaing dengan
negara, walaupun kemungkinan itu kecil.[3]
Perusahaan
dalam siklus ekonomi berperan sebagai pencipta demand tenaga kerja,
dan rumah tangga berperan sebagai supplier tenaga kerja.
Jumlah perusahaan sebagai penampung tenaga kerja semakin sedikit disebabkan
persaingan usaha antar Perseroan Terbatas (PT.), dimana pemenangnya selalu
berpihak pada perusahaan yang memiliki modal besar, sedangkan disisi lain
pertumbuhan tenaga kerja terus meningkat. Sebagaimana hukum dalam kurva
permintaan dan penawaran, tingkat penawaran tenaga kerja yang terus menerus
meningkat yang tidak diikuti dengan pertumbuhan jumlah perusahaan sebagai penampung
tenaga kerja, akan mengakibatkan tingkat harga tenaga kerja menjadi turun.
Demikianlah yang terjadi di Indonesia dan banyak negara lain di dunia, dan
ketetapan UMR di Indonesia adalah sebagai bentuk usaha pemerintah untuk menjaga
tingkat upah, melindungi tenaga kerja agar pendapatan tenaga kerja tidak turun
sampai pada titik yang sama sekali tidak mampu menutupi kebutuhan primer tenaga
kerja.
Namun,
dikeluarkannya UU No. 13 Tahun 2003 sebagai legalisasi bisnis jasa Outsourcing,
membuat kaum pekerja menjadi hanya berstatus sebagai pekerja kontrak yang tidak
ada jaminan dalam keberlangsungan pekerjaannya (status pekerja tetap),[4] disaat
kesempatan kerja menjadi kecil dan disaat 10% penduduk Indonesia berstatus
sebagai pengangguran terbuka, yang berarti bahwa banyaknya jumlah orang yang
siap menggantikannya sebagai pekerja. Maka menjadi hal yang lumrah apabila di
Indonesia sering terjadi demonstrasi kaum buruh.
Berbeda dengan
sistem pengupahan sistem ekonomi Indonesia, sistem pengupahan ekonomi Islam
Hizbut Tahrir tidak mengenal dan apalagi sampai mematok Upah Minimum Regional
(UMR), akan tetapi menggunakan asas kontrak kerja, baik dari sisi statusnya
sebagai pekerja kontrak ataukah pekerja tetap maupun dari sisi besaran tingkat
upahnya. Namun hal penting yang ditekankan dalam masalah ini adalah sistem
perseroan, bahwa turunnya harga tenaga kerja di Indonesia adalah sebab turunnya
jumlah supply/penyedia lapangan kerja (perusahaan) akibat
menerapkan sistem perseroan yang menyalahi hukum Islam, sedangkan apabila suatu
negara menerapkan sistem perseroan dalam Islam, menurut Hizbut Tahrir jumlah
penyedia lapangan kerja dan jumlah penyedia tenaga kerja akan stabil, sehingga
tingkat harga tenaga kerja akan mencapai tingkat equilibrium.
Adapun UMR
menurut Hizbut Tahrir adalah bentuk pelimpahan tanggung jawab kesejahteraan
masyarakat, yang dilimpahkan negara kepada perusahaan sebagai tempat seorang
pekerja bekerja, yaitu agar pendapatan pekerja tidak sampai mencapai titik yang
membuatnya tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup layak. Tingkat upah dalam sistem
ekonomi Islam Hizbut Tahrir tidak ada batas minimal sebagaimana UMR, sehingga
tampak bahwa besaran upah dimungkinkan bisa akan berada dibawah garis
sebagaimana yang ditetapkan UMR. Namun demikian, tingkat equilirium yang
dicapai atas supply dan demand tenaga kerja
diprediksi tidak akan sampai berada dibawah kebutuhan hidup layak seorang
pekerja. Sehingga tanggung jawab negara atas kesejahteraan para pekerja bukan
ditentukan dengan menetapkan tingkat pengupahan, melainkan dengan cara yang
menunjukkan bahwa negara adalah pelayan dari rakyatnya. Misalnya seperti
apabila ada seorang tua yang tidak sanggup lagi bekerja dan dia diabaikan oleh
keluarganya, maka negara akan memaksa kerabat terdekatnya tersebut untuk
menyantuninya, dan bukan hanya sekedar himbauan sosial belaka kepada kerabatnya
tersebut, melainkan pemaksaan agar kubutuhan ekonominya tercukupi.
Menetapkan
batas upah sebagaimana UMR dan penetapan-penetapan harga lainnya seperti harga
barang, menurut Hizbut Tahrir adalah bentuk kezaliman. Sebab penetapan upah
menjadikan salah satu biaya produksi menjadi tetap, padahal hasil produksi
belum tentu laku dipasaran, sedangkan perusahaan harus menetapkan upah
sebagaimana yang ditetapkan pemerintah, maka dari sini terlihat bahwa tingkat
upah terjadi bukan dari kontrak kesepakatan antara pekerja dan perusahaan,
melainkan dengan apa yang ditetapkan negara, dan ini adalah bentuk kezaliman
bagi perusahaan. Sebab perusahaan memiliki hak untuk menurunkan biaya
produksinya.
Pendapatan
nasional yang dijadikan negara Indonesia sebagai tolak ukur kemajuan ekonomi,
menurut sistem ekonomi Islam Hizbut Tahrir hal tersebut tidak mampu
mencerminkan kemakmuran ekonomi bangsa ini. Sebab perekonomiannya sudah
menciptakan ketimpangan diantara masyarakatnya. Pendapatan nasional hanya
menunjukkan kekayaan yang dimiliki oleh segelintir orang saja, tanpa melihat
kekayaan tersebut merata atau tidak.
Sistem Konsumsi
Sistem
konsumsi merupakan permasalahan yang menyangkut apakah benda pemuas kebutuhan
yang diproduksi memang benda yang layak dan dapat dimiliki oleh konsumen atau
tidak. Sistem konsumsi dalam sistem ekonomi Islam Hizbut Tahrir adalah
berlandaskan hukum syara’, yaitu halal-haram. Sehingga barang halal adalah
barang yang dapat dimiliki konsumen tertentu, dan barang haram adalah barang
yang tidak boleh diproduksi, didistribusi dan dikonsumsi oleh konsumen
tertentu. Sedangkan sistem ekonomi Indonesia dalam pandangan Hizbut Tahrir
tidak menjadikan halal-haram sebagai asasnya. Sebab tidak ada sebuah
undang-undang yang menetapkan sangsi bagi warganya yang muslim saat
mengkonsumsi barang haram.
Adapun fatwa
MUI pada hal-hal yang berkaitan dengan barang-barang konsumsi, menurut Hizbut
Tahrir hal tersebut hanyalah berstatus sebagai fatwa atau opini bagi masyarakat
Indonesia yang mayoritas muslim, namun fatwa tetap bukan sebagai peraturan
perundang-undangan yang mengikat setiap warga negaranya dengan sanksi hukum
tertentu bagi pelanggarnya. Dengan demikian wajar apabila minuman beralkohol
dalam sistem konsumsi ekonomi Indonesia yang telah dipaparkan sebelumnya dalam
bab V, menjadi barang yang tergolong makanan yang dikonsumsi baik pada
mayarakat perkotaan maupun pedesaan di Indonesia.
Berkaitan
dengan sertifikasi halal, sistem ekonomi Islam memandang bahwa sertifikasi
tersebut hanya ada ditengah-tengah sistem konsumsi yang memang tidak menjadikan
halal-haram sebagai peraturannya. Adapun dalam sistem konsumsi ekonomi Islam,
kemungkinan yang terjadi adalah sertifikasi haram yang berlanjut pada tulisan
khusus bagi agama-agama tertentu saja selain Islam, karena negara Khilafah
tidak akan melarang agama lain mengkonsumsi barang yang halal menurut mereka
namun haram menurut Islam. Adapun kebijakan tata cara teknisnya akan menjadi
kewengan penuh Khalifah saat barang-barang konsumsi yang haram dalam pandangan
Islam tersebut didistribusikan ditengah-tengah masyarakat.
Sistem Moneter
a.
Mata Uang
Mata uang Indonesia adalah Rupiah, dan Rupiah di
Indonesia secara fisik bukanlah emas maupun perak, melainkan kertas, Rupiah
juga tidak berstandar atau dijamin oleh logam mulia seperti emas maupun perak.
Dengan demikian menurut sistem ekonomi yang diadopsi Hizbut Tahrir mata uang
yang dipakai dalam sistem ekonomi Indonesia telah menyalahi ketentuan
dalil-dalil syara’ dalam pandangan sistem ekonomi Islam Hizbut Tahrir, sebab
tuntutan dalam Islam bagi sebuah negara seharusnya menggunakan mata uang emas
maupun perak dalam pertukarannya secara fisik, maupun mata uang substitusi yang
dijamin oleh emas maupun perak.
b.
Pasar Uang
Kurs pertukaran mata uang dalam sistem ekonomi Islam
Hizbut Tahrir menggunakan kurs mengambang, sebab hal ini dianalogikan (qiyash)
dengan larangan menetapkan harga barang oleh negara (ta’sir).
Sebagaimana dalam sistem ekonomi Islam Hizbut Tahrir, Indonesia juga membiarkan
kurs pertukaran mata uangnya bebas mengambang terhadap mata uang lainnya.[5]
Mata uang emas dan perak memiliki nilai intrinsik
didalamnya, yaitu emas dan perak, sehingga mata uang emas dan perak bernilai
disebabkan zatnya dan kemampuan daya tukarnya dimunculkan oleh sebab zat fisiknya.
Jadi tidak memerlukan jaminan negara agar mata uang tersebut bisa berlaku
ditengah-tengah perekonomian masyarakat suatu negara. Adapun Rupiah berbeda
dengan mata uang emas dan perak, sebab Rupiah secara fisik adalah kertas tak
bernilai, dan kertas tersebut (Rupiah) tidak dijamin oleh emas dan perak yang
secara fisik mempunyai nilai tukar, sehingga Rupiah memerlukan jaminan negara
agar memiliki daya tukar didalam perekonomian suatu negara. Hal inilah yang
membuat kurs pertukaran mata uang Rupiah terhadap mata uang lain, selain
ditentukan oleh faktor-faktor ekonomi juga bisa ditentukan oleh faktor-faktor
non ekonomi seperti kondisi sosial dan politik negara Indonesia, sehingga
Rupiah bisa devaluasi saat kondisi politik sedang tidak stabil atau seringnya
terjadi huru-hara ditengah-tengah masyarakat. Tingginya angka import barang
untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri juga berperan penting untuk kestabilan
perekonomian Indonesia, sebab Indonesia akan membutuhkan mata uang negara asal
pengekspor untuk pembayaran, yang masing-masing negara tersebut mata uangnya
bisa dipengaruhi oleh faktor-faktor selain ekonomi.
Spot, forward, Option dan Swap adalah jenis-jenis
transaksi pertukaran mata uang yang lazim dalam perekonomian Indonesia.[6] Keempat
jenis transaksi tersebut memiliki persamaan, yaitu sama-sama penyerahan hasil
transaksinya tidak memenuhi syarat kontan dalam pertukaran mata uang menurut
ekonomi Islam. Adapun jenis spot yang penyerahannya paling cepat daripada jenis
transaksi lainnya, namun tetap dalam penyerahannya paling cepat adalah dua
hari, padahal perubahan kurs mata uang di Indonesia terhadap mata uang lainnya
selalu berubah setiap harinya. Dengan demikian kesemuanya adalah batil menurut
pertukaran mata uang dalam Islam, karena semuanya menimbulkan selisih nilai
saat transaksi berlangsung dan saat penyerahan barangnya. Selain itu, negara
Indonesia juga membiarkan warga negaranya untuk berspekulasi dalam pertukaran
mata uang sebagai ajang bisnis. Dengan demikian sistem ekonomi Islam Hizbut
Tahrir memandang sistem moneter yang diterapkan Indonesia menyalahi ketentuan
dasar-dasar hukum Islam.
Oleh sebab belum adanya negara yang menerapkan sistem
moneter Islam perspektif Hizbut Tahrir, maka jumlah hari penyerahan hasil
pertukaran mata uang agar memenuhi syarat kontan tersebut dapat ditentukan saat
sudah adanya negara yang menerapkan sistem moneter menurut Hizbut Tahrir,
sehingga jumlah hari yang riil yang dapat ditetapkan dapat terlihat melalui
jumlah hari terjadinya perubahan kurs mata uang luar negeri terhadap mata uang
dalam negeri.
[4] Dhaniswara K. Harjono, Aspek Hukum dalam
Outsourcing, http:// www.majalahpengusaha.com/ content/view/868/93/,
diakses Tanggal 16 Februari 2010.
[6] Pengenalan Bertransaksi, http://www.forex.co.id/
forex-trading-pengenalan-bertraksaksi.htm, diakses
tanggal 28 Januari 2010.
Sumber tulisan: ekonomipolitikislam.blogspot.com
Penulis M. Baiquni Shihab, SEI.,MSI adalah Dosen STEI Hamfara Yogyakarta
Posting Komentar