Dalam konteks penyelenggaraan
pertahanan negara, pertanian dan ketahanan pangan merupakan satu kesatuan
integral. Pertanian merupakan jantung pertahanan bagi ketahanan
pangan Indonesia saat ini. Selain itu juga, pertanian adalah sektor
utama penyedia bahan pangan, Meninggalkan sektor pertanian dalam
pembangunan nasional, terutama dalam ketahanan panganakan membawa bangsa ini kepada
krisis.
Berbagai
bentuk krisis pangan telah terjadi selama
ini yang merupakan bukti bahwa lemahnyasektor pertanian dalam
pemenuhan pangan di Indonesia, sehingga mengakibatkan banyak terdapat keluarga
petani Indonesia yang ketahanan pangannya rendah yang mengakibatkan
kemiskinan bahkan menimbulkan penyakit kekurangan gizi pada anak-anak dan
penyakit busung lapar. Sehingga
solusi terhadap persoalan pangan ini akan selalu terkait dengan masalah kemiskinan dan kelaparan.
Agar penbangunan pertanian memiliki
arah yang jelas dan berkesinambungan, negara perlu menetapkan politik pertanian yaitu keputusan yang sangat
mendasar dibidang pertanian pada tingkat negara, yang menjadi arah ke depan,
untuk menjadi acuan semua pihak yang terlibat, dengan sasaran membangun
kemandirian di bidang pangan.
Pembahasan
a.
Permasalahan
BPS mencatat, selama tiga tahun
terakhir, jumlah penduduk hampir miskin terus bertambah secara konsisten. Pada
2009 jumlah penduduk hampir miskin berjumlah 20,66 juta jiwa atau sekitar 8,99
persen dari total penduduk Indonesia. Pada 2010, jumlahnya bertambah menjadi
22,9 juta jiwa atau 9,88 persen dari total penduduk Indonesia.
Menurut BPS, ukuran hampir miskin
adalah 1,2 kali dari garis kemiskinan. Jika garis kemiskinan Maret 2011 adalah
pengeluaran Rp 233.740 per kapita per bulan, maka ukuran untuk masyarakat
hampir miskin pengeluaran per kapita per bulannya di bawah Rp 280.488 atau
masih dibawah Rp 10.000 per hari. Dengan demikian bagi yang memiliki
penghasilan diatas itu, semisal Rp. 300.000 per bulan digolongkan sebagai warga
yang berkecukupan/kaya tanpa melihat ia hidup sejahtera atau tidak.
Dalam hal pangan, Indonesia
diperkirakan akan benar-benar kekurangan pangan sebelum tahun 2030. Hal ini
dikarenakan lahan baku pertanian periode 2011 tinggal 6.758.840 ha sementara
jumlah penduduk meningkat hingga 1,4 persen. Dibandingkan 2010, indeks luas
panen per kapita tahun 2011 menurun yaitu dari 552 m2 menjadi 544 m2/kapita.
Perkiraan ini semakin didukung oleh data lapangan yang menyatakan meluasnya
serangan hama penyakit pangan tahun 2011 hingga 606.095 ha yang tentu
mengurangi praduksi pangan.
Ketua Komisi III DPRD Kota Tegal,
Jawa Tengah misalnya, memprediksi di akhir tahun 2012 ini lahan sawah produktif
di Kota Tegal akan mengalami penyusutan hingga 30 persen dari luas lahan sawah
produktif yang mencapai 1200 Hektar. Faktor penyusutan tersebut disebabkan oleh
pemanfaatan bangunan perumahan. Padahal pertanian padi di Kota Tegal mampu
panen setahun mencapai 2 hingga 3 kali, dengan hasil yang cukup melimpah.
Adapun Pemerintah Kota Padang,
Sumatera Barat, menyatakan, luas areal persawahan di daerah itu saat ini
tinggal 6.680 hektar, akibat alih fungsi lahan untuk pembangunan perumahan dan
lainnya. setiap tahun penyusutan areal pertanian di daerah itu akibat pembangunan
kawasan perumahan mencapai 150 hektar sampai 200 hektar (kompas.com).
Demikian juga alih fungsi lahan di
wilayah DIY juga semakin mengkhawatirkan, Dalam satu tahun penyusutan lahan
pertanian cukup besar mencapai 200 sampai 250 hektare yang dijadikan lahan
nonpertanian. Kepala Bappeda DIY Tavip Agus Rayanto mengatakan meski sudah ada
kebijakan pemberian insentif dan disinsentif bagi petani yang mempertahankan
lahan pertaniannya dengan memberikan petani berupa pupuk untuk terus bertani.
Namun, penggunaan lahan pertanian untuk industri masih terus berlanjut.
(bisnis-jateng.com)
Dengan demikian tidak jarang kita
melihat maraknya promosi-promosi property yang menandakan banyaknya alih fungsi
lahan menjadi lahan perumahan. Juga banyak dari rumah-rumah tersebut telah
dimiliki namun tidak ditinggali pemiliknya dikarenakan rumah tersebut adalah
rumah yang kedua, ketiga dan seterusnya. Sementara banyak juga kita saksikan
masyarakat Indonesia yang berstatus sebagai tuna wisma.
Akibat turunnya produksi pangan
nasional, sepanjang bulan Januari hingga Juni 2011 Indonesia harus mengimpor
dari berbagai negara jutaan ton beras, jagung, kedelai, biji gandum, tepung
terigu, gula pasir, gula tebu, daging, mentega, minyak goreng, susu, telur,
ayam, kelapa, kelapa sawit, lada, kopi, cengkeh, kakao, cabe kering, cabai,
garam, tembakau, kacang-kacangan, jagung, dan bawang. Indonesia juga mengimpor
dari India, Filipina, dan Thailand bawang merah belasan ribu ton. Singkong pun
diimpor berton-ton dari China dan negara lain. Begitu pun garam diimpor hampir
dua juta ton dari Australia, Singapura, Selandia Baru, Jerman, dan India.
Dengan demikian wajar bila Guru
Besar Ekonomi Universitas Gajah Mada (UGM) Gunawan Sumodiningrat mengungkapkan
bahwa hampir 65 persen kebutuhan pangan Indonesia berasal dari impor. Hasil
pertanian yang diimpor, di antaranya adalah beras, gula, kedelai, bawang merah,
bawang putih dan sebagainya. Padahal lebih banyak dari penduduk Indonesia
tinggal di pedesaan dan sebagian besar hidup dari pertanian. (ekonomi.kompasiana.com).
Disisi lain juga telihat
permasalahan konflik petanian dan pertanahan yang tidak lain sebagai buntut
dari penggusuran-penggusuran pemukiman warga di kota-kota besar adalah akibat
hukum pertanahan yang diterapkan. Dimana warga terusir dari tanah yang sudah
lama ditempatinya bertahun-tahun dengan terpaksa kehilangan tempat tinggal
karena hukum negara berpihak pada nama yang ada di sertifikat tanah tersebut.
Padahal tanah tersebut ditempati warga akibat tanah tersebut tidak produktif.
Atau kasus lain seperti di Mesuji Lampung dan berbagai konflik yang terjadi di
wilayah lain.
Akibat dari turunnya jumlah lahan
yang memproduksi pangan, maka pangan yang dikonsumsi warga pun berkurang,
akibatnya tingkat gizi yang diserap generasi muda Indnesia pun ikut berkurang.
Menurut mantan Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih (alm) saat ini
Indonesia berada di peringkat kelima negara dengan kekurangan gizi sedunia.
Peringkat kelima karena jumlah penduduk Indonesia juga di urutan empat terbesar
dunia. Jumlah balita yang kekurangan gizi di Indonesia saat ini sekitar 900
ribu jiwa. Jumlah tersebut merupakan 4,5 persen dari jumlah balita Indonesia,
yakni 23 juta jiwa. Daerah yang kekurangan gizi tersebar di seluruh Indonesia,
tidak hanya di daerah bagian timur Indonesia.
Berkaitan dengan masalah
kemiskinan, kekurangan pangan dan gizi yang terus melanda Nusantara, pada
tanggal 7 Februari 2012 dalam Seminar dan Pameran Ketahanan Pangan di JCC
Presiden SBY memberi 4 (empat) langkah praktis yang harus dilakukan bersama
guna mengatasi masalah ketahanan pangan yang terurai diatas.
Empat langkah praktis yang
disampaikan SBY dalam seminar dan pameran ketahanan pangan tersebut adalah
sebagai berikut: pertama, Presiden meminta agar masalah tersebut
dijadikan prioritas dan agenda nasional melalui program-program prorakyat yang
akan dilaksanakan. Kedua, produksi pangan juga harus terus
ditingkatkan. Dengan keterbatasan untuk terus menerus memperluas lahan, maka
peranan teknologi amat diperlukan. Ketiga, Presiden juga meminta
agar memastikan komoditas pangan tersedia dengan harga terjangkau dan
stabil. Keempat, terus pantau perkembangan pada tingkat global.
Menurut Presiden, hal ini tentu tidak bisa dikerjakan sendiri, dibutuhkan
kerjasama dengan negara-negara sahabat dan organisasi dunia lainnya.
b.
Pokok-pokok permasalahan
Pokok permasalahan utama atas
langkah praktis yang disampaikan presiden diatas adalah bahwa saran tersebut
merupakan intruksi yang dirasa kurang memahami sumber akar permasalahannya,
seperti dengan menyarankan memperluas lahan namun tanpa mengerti penyebab
menyempitnya lahan pertanian, dan meminta untuk memastikan komoditas pangan
tersedia dengan harga terjangkau dan stabil namun juga tanpa memahami bagaimana
harga tinggi tesebut terbentuk.
Dari permasalah-permasalahan yang
terurai diatas kami dari kelompok II menyimpulkan bahwa pokok-pokok
permasalahan ketahanan pangan nasional ada pada hal-hal berikut:
1.
Kesalahan Memahami Problem Ekonomi
Teori Thomas Robert Malthus yang
diadopsi dalam kurikulum Indonesia berpendapat, bahwa pertumbuhan penduduk
berdasarkan deret ukur sedangkan pertumbuhan makanan (kekayaan) berdasarkan
deret hitung.
Dari teori ini membuat anak didik
Indonesia memahami bahwa terjadinya kemiskinan, kekurangan pangan dan gizi
adalah akibat kelangkaan (scarcity), yang membuat masyarakat Indonesia
selalu berfikir bahwa sumber masalah kemiskinan dan kekurangan pangan terletak
pada pertumbuhan penduduk yang tinggi yang tidak dibarengi tingginya
pertumbuhan makanan, sehingga masyarakat dan pemerintah tidak pernah berfikir
bahwa terjadinya kemiskinan dan kekurangan pangan penyebabnya terletak pada
sistem distribusi yang salah dan rusak. Sehingga setiap solusi yang diberikan
tidak pernah mengena pada sumber pemicunya. Alhasil semua kebijakan tidak tepat
sasaran.
2.
Kekeliruan sistem distribusi
(undang-undang pertanahan)
Hukum pertanahan Indonesia merujuk
pada Pemikiran David Ricardo yang popular yaitu teori harga relative
berdasar biaya-biaya produksi, yang kemudian melahirkan teori biaya sewa tanah.
Di Indonesia UU tersebut tertuang dalam UU No. 5 tahun 1960 tentang peraturan
dasar pokok-pokok agrarian.
Menurut David Ricardo, tanah adalah
factor produksi yang dimiliki rumah tangga dantentu yang dibutuhkan
perusahaan dalam menjalankan proses produksinya. Tanah tersebut tetap menjadi
milik perseorangan (rumah tangga) selama sebuah perusahaan belum membeli
darinya. Dengan demikian harus ada kompensasi bagi pemilik tanah saat pemilik
industri/perusahaan ingin memanfaatkan tanah tersebut, sebab pemilik tanah
tersebut memang akan meminta kompensasinya, dan kompensasi tersebut adalah
sewa apabila dipinjamkan, dan harga bila diperjualbelikan.
Hukum pertanahan di Indonesia pun
demikian, seorang pemilik tanah dijamin atas hak kepemilikan atas tanahnya dengan
sebuah sertifikat. Yang menjamin bahwa tanah tersebut akan tetap menjadi
miliknya selamanya, selama tidak diperjualbelikan maupun dihibahkan. Dengan
demikian walaupun tanah tersebut dibiarkan (tidak produktif) tanpa dikelola
bertahun-tahun, tanah tersebut akan tetap menjadi sang pemilik sertifikat awal.
Hal ini disebabkan karena apabila kita teliti dalam UU No. 5 tahun 1960, tidak
terdapat didalamnya ketentuan batas maksimal penelantaran lahan/tanah oleh sang
pemilik, sehingga pemilik tanah tetap berhak atas tanahnya selama tidak dijual
atau dihibahkan pada pihak lain. Sehingga apabila ada pihak yang menempatinya,
dengan kebenaran UU pemilik akan mampu mengusirnya sewaktu-waktu bila
diinginkan.
Tanah tersebut pun boleh disewakan
pemiliknya kepada pihak-pihak yang ingin memanfaatkan tanah tersebut, semisal
petani yang ingin bercocok tanam, apabila pemilik tanah tersebut enggan
mengelolanya sendiri namun tetap ingin mendapatkan penghasilan dari tanah
tersebut. Dan yang seperti ini banyak dari para petani Indonesia yang
mengalaminya. Selain biaya pupuk, petani juga harus membayar biaya sewa lahan
pertanian kepada pemilik lahan.
Perkara undang-undang yang seperti
inilah yang menurut dugaan kami memicu tumbuh berkembangnya lahan tidak
produktif, atau memicu peralihan lahan pertanian menjadi lahan non pertanian,
dikarenakan pengunaan lahan untuk industry dan property lebih menguntungkan
secara ekonomi.
3.
Hantaman Pasar Bebas (free trade)
Mulai 1 Januari 2010, Indonesia
membuka pasar dalam negeri secara luas kepada negara-negara ASEAN dan Cina.
Sebaliknya, Indonesia dipandang akan mendapatkan kesempatan lebih luas untuk
memasuki pasar dalam negeri negara-negara tersebut. Pembukaan pasar ini
merupakan perwujudan dari perjanjian perdagangan bebas antara enam negara
anggota ASEAN (Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina dan Brunei
Darussalam) dengan Cina, yang disebut dengan ASEAN-China Free Trade Agreement
(ACFTA).
Sebelum adanya perjanjian
perdagangan bebas dengan Cina saja, kita sudah mendapatkan hampir segala lini
produk yang dipergunakan di rumah dan perkantoran bertuliskan Made in
China. Karena itu, pemberlakuan pasar bebas ASEAN-Cina sudah pasti
menimbulkan dampak sangat negatif. Pertama: serbuan produk asing
terutama dari Cina dapat mengakibatkan kehancuran sektor-sektor ekonomi yang
diserbu. pasar dalam negeri yang diserbu produk asing dengan kualitas dan harga
yang sangat bersaing akan mendorong pengusaha dalam negeri berpindah usaha dari
produsen di berbagai sektor ekonomi menjadi importir atau pedagang saja.
Sebagai contoh, harga tekstil dan produk tekstik (TPT) Cina lebih murah antara
15% hingga 25%. Menurut Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API),
Ade Sudrajat Usman, selisih 5% saja sudah membuat industri lokal kelabakan, apalagi
perbedaannya besar (Bisnis Indonesia, 9/1/2010).
Permasalahan berikutnya menurut
kami terletak pada UUD 45 pasal 33 tentang perekonomian bangsa yang dirasa
masih terlalu global untuk dapat ditafsirkan dan diimplementasikan menjadi
sebuah sistem ekonomi yang menyejahterakan dan berpihak pada rakyat. Sebab
semisal pada ayat 3 yang menyebutkan bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besar
kemakmuran rakyat”.
Menurut hemat kami dengan pernyataan
demikian membuat Negara terlalu bebas menafsirkan dan mengimplementasikan
kebijakan yang menyejahterakan rakyat tanpa melihat lebih dalam apakah
kebijakan tersebut membuat rakyat sejahtera atau justru merugikan. Seperti
dengan membuat UU no 4 tahun 2009 tentang mineral dan batubara, UU no 11 tahun
1967 pasal 9 yang membolehkan pihak swasta mengelolanya. Sehingga membuat
kekayaan dari alam tersebut tidak terdistribusi secara merata kepada rakyat.
Hal ini disebabkan UU menyatakan kekayaan alam tersebut dikuasai Negara,
sehingga menjadi hak Negara dengan bagaimanapun bentuk pengelolaannya.
c.
Pemecahan masalah
Kami menyarankan agar permasalahan
permasalahan diatas yang menimpa negeri Indonesia dipecahkan dengan
undang-undang menurut kajian ekonomi Islam. Menurut kami, undang-undang publik
seperti ekonomi yang berasal dari Islam tidak akan memicu konflik horizontal
sebagaimana yang banyak dikhawatirkan oleh berbagai kalangan, sebab peraturan
seperti ini zaman dahulu sudah pernah dipraktekkan untuk semua kalangan dengan
berbagai agama, suku dan bangsa yang berlainan.[1]
Selain itu fakta saat ini juga
telah menunjukkan bahwa ekonomi Islam sebagai undang-undang publik mulai banyak
dilirik oleh pakar-pakar ekonomi. Tidak jauh-jauh semisal perbankan syariah
yang sudah merebak di nusantara ini. Sistem perbankan Islam dianggap sebagai
sistem perbankan yang tahan krisis, berkeadilan dan menyejahterakan. Oleh
karena itu banyak perbankan syariah yang memiliki nasabah dari berbagai etnis,
suku dan agama, bukan hanya nasabah yang beragama Islam saja. Hal ini
dibuktikan misalnya dengan presentase nasabah Bank Permata Syariah. Sekitar 36
persen nasabah berasal dari kalangan non-Muslim.
Adapun Pemimpin Bank Muamalat Palu
Fauz Atabik mengemukakan jumlah nasabah bank yang dipimpinnya hingga saat ini
meningkat sekitar 20 persen menjadi 40 ribuan orang. dan jumlah nasabah
nonmuslim Bank Muamalat di Palu mencapai 10 persen dari seluruh nasabah.
ketertarikan nonmuslim terhadap perbankan syariah antara lain, bank syariah
tidak menggunakan bunga tapi bagi hasil antara pemilik dana dan pengelola dana.
Meskipun masih didominasi oleh nasabah Muslim, presentase tersebut menunjukkan
bank syariah tidak hanya diminati kalangan Muslim saja, melainkan juga
nonmuslim. (Antara 25/6/12).
Demikian pula dalam maslah
pertanahan, kami pun akan menduga dan berharap apabila undang-undangnya diambil
dari sumber ekonomi Islam akan mampu menyejahterakan dan diterima berbagai
kalangan, baik petani, pedagang dan agama apapun dan mampu meningkatkan
swasembada pangan bagi rakyat Indonesia khususnya. Sehingga ketahanan pangan
Indonesia menjadi kokoh.
Adapun pemecah masalah dari
pokok-pokok permasalahan yang disampaikan diatas adalah sebagai berikut:
1.
Perbaikan Kurikulum Pendidikan
Hendaknya pemerintah mengkoreksi
setiap pemikiran salah yang selama ini diajarkan pada anak didik generasi muda
Indonesia, seperti kesalahan pemikiran Adam Smith, David Ricardo, JB Say dan
lain sebagainya. Dan menggantinya dengan pemikiran yang lebih baik.
2.
Alternativ undang-undang pertanahan
dan pertanian
Adapun hukum kepemilikan tanah
dalam ekonomi Islam tidak sebagaimana teori hukum pertanahan dalam teori
ekonomi mikro David Ricardo yang diadopsi Indonesia. Ekonomi Islam
melarang seorang pemilik tanah menyewakan tanahnya. Ekonomi Islam hanya
memberikan dua pilihan kepada para pemilik tanah, yaitu segera tanahnya
dikelola oleh dirinya sendiri, atau ia berikan tanah tersebut kepada orang lain
bila ia tidak sanggup mengelolanya. Dan apabila tanah tersebut tidak dikelola
oleh pemiliknya dan tidak diberikannya pada orang lain, maka negara memberikan
jangka waktu tiga tahun berturut-turut kepada pemilik tanah tersebut. Apabila
lebih dari tiga tahun berturut-turut tanah tersebut tidak ia kelola dan
dibiarkan mati, maka dengan paksa negara akan mengambil alih hak kepemilikannya
untuk kemudian diberikan pada orang lain.
Sebagaimana Hadits yang pernah
dipraktekkan Umar bin Khattab:
“Barang siapa menelantarkan
tanah selama tiga tahun berturut-turut dan ia tidak mengelolanya, maka apabila
datang orang lain dan ia mengelolanya, maka tanah tersebut menjadi miliknya”.
“Siapa yang mempunyai sebidang
tanah, hendaknya dia menanaminya, atau hendaknya diberikan kepada saudaranya.
Apabila ia mengabaikannya, maka hendaknya tanahnya diambil”. (HR. Bukhari)
Dan larangan Rasulullah SAW
menyewakan tanah:
“Siapa saja yang mempunyai
tanah, hendaknya menanami tanahnya, atau hendaknya ditanami (diberikan pada)
saudaranya. Dan janganlah menyewakannya dengan sepertiga, seperempat, maupun
dengan makanan yang sepadan.” (HR. Abu Daud)
Hikmah dari penerapan undang-undang
yang berasal dari hadits-hadits Nabi diatas jika diterapkan adalah, rakyat
Indonesia akan terdorong untuk membuat semua tanah yang ada di muka bumi
Indonesia ini produktif (menghasilkan bahan pangan dan lain sebagainya).
Sebab bila tidak ia terancam akan kehilangan hak kepemilikan atas
tanahnya jika tanahnya ditelantarkan selama lebih dari 3 tahun berturut-turut.
Dengan demikian produksi bahan pangan pun akan melimpah, dengan begitu akan
membuat harganya murah dan dapat terjangkau oleh semua kalangan. Tidak
sebagaimana teori sewa tanah David Ricardo, yang mengancam tanah akan mati
terbengkalai dan tidak produktif, sebab tanah yang ditelantarkan oleh
pemiliknya akan tetap menjadi pemiliknya, dan tidak dapat diganggu gugat, walaupun
tanah tersebut diterlantarkan selama berpuluh-puluh tahun lamanya. Artinya,
tanah tersebut menjadi tidak produktif selama berpuluh-puluh tahun. alhasil
produksi bahan pangan pun terbatas, sebab tanah yang menghasilkan
produksi bahan pangan juga terbatas. Akibatnya harga bahan pangan tidak akan
semurah apabila produksi bahan pangan tersebut melimpah ruah. Sebab kebanyakan
tanah-tanah tersebut terbengkalai tidak menghasilkan apapun, dan hanya sedikit
dari tanah-tanah tersebut yang produktif.
Jadi, solusi dari ekonomi Islam
tentang pertanahan hanya dua. Yaitu hendaknya tanah tersebut digarap oleh
pemiliknya, atau diberikan pada orang lain yang mampu menggarapnya, tidak ada
pilihan lain. Juga tanah tersebut tidak boleh disewakan, sebab kebolehan sewa terhadap
tanah, selain bertentangan dengan hadits Nabi, juga akan dapat menghilangkan
tujuan hukum ekonomi Islam yang dimaksudkan untuk agar semua tanah produktif
dan menghasilkan bahan pangan yang melimpah ruah.
3.
Memproteksi pasar
Pemerintah seharusnya memproteksi
pasar nasional dari pasar bebas. Hendaknya pemerintah apabila berniat mengimpor
suatu produk tertentu dari Negara lain agar melakukan penyeleksian hanya pada
barang-barang yang kurang dan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat saja.
Sehingga tidak merugikan petani dalam negeri yang mendorong berubahnya lahan
pertanian menjadi lahan non pertanian, namun tetap mampu memenuhi kebutuhan
masyarakatnya.
Perjanjian perdagangan bebas
seperti ACFTA merupakan bentuk penghianatan terhadap rakyat yang seharusnya
dilindungi dari ketidakberdayaan ekonomi. Dengan perjanjian tersebut, sengaja
atau tidak, Pemerintah telah membunuh usaha pertanian dan industri dalam negeri
baik skala besar apalagi skala kecil, yang tentu akan berdampak pada makin
meningkatnya angka pengangguran.
Berkaitan dengan UUD 45 pasal 33,
kami menyarankan agar dibentuk aturan ekonomi yang lebih spesifik dalam
pengelolaan kekayaan alam, semisal dengan pernyataan bahwa “kekayaan alam yang
terkandung didalam bumi dimiliki oleh rakyat (bukan dimiliki negara) yang
pengekplorasiannya diserahkan pada Negara”. Sehingga dengan demikian Negara
menjadi tidak berhak memprivatisasikannya atau menyerahkan pengelolaannya pada
swasta atau asing yang membuat kekayaan alam tidak terdistribusi secara merata
pada rakyat.
Penutup
a.
Kesimpulan
Teori ekonomi Thomas Robert Malthus
tentang kekurangan bahan pangan/makanan akibat tingginya pertumbuhan penduduk
yang diajarkan pada siswa dan mahasiswa di Indonesia adalah sebuah kesalahan
besar, sebab mendidik generasi muda Indonesia berfikiran keliru. Salah fikir
pastilah akan salah perbuatan, demikian pula salah mengidentifikasi masalah
maka salah pula solusinya.
Sebab dari fakta pun bisa kita
lihat bahwa produksi pangan dunia sebenarnya tidak kekurangan, melainkan cukup
untuk memenuhi semua manusia di dunia, sehingga nampak permasalahannya bukan
terletak pada jumlah makanan yang tersedia, melainkan pada distribusi yang
tidak merata. Dan distribusi tidak akan berjalan kecuali sesuai dengan
perundang-undangan yang menaunginya. Apabila undang-undangnya rusak tentu
sistem pendistribusiannya pun ikut rusak, dan apabila undang-undangnya baik
tentu sistem pendistribusiannya juga baik.[2]
Badan pangan dunia (FAO) menemukan
sepertiga makanan di dunia terbuang setiap tahunnya, yang jumlahnya cukup untuk
pangan di Afrika. Dan Food and Agriculture Organisation (FAO)
PBB menemukan makanan yang terbuang percuma itu berasal dari negara-negara kaya
dan berkembang. Kemudian peneliti dari Swedish Institute for Food and
Biotechnology (SIK) for Save Food! Juga melakukan studi dengan
menghasilkan beberapa penemuan penting, seperti dikutip dari
FAO.org: Negara maju dan berkembang kira-kira membuang makanan dalam
jumlah yang sama yaitu masing-masing 670 dan 630 juta ton. Kemudian setiap
tahun, sampah makanan dari negara-negara kaya adalah sebanyak 222 juta ton,
yang jumlah ini mirip dengan produksi pangan di negara Afrika sub-Sahara yaitu
sebesar 230 juta ton. Juga jumlah makanan yang hilang atau terbuang setiap
tahunnya setara dengan lebih dari setengah hasil panen sereal di dunia (2,3
miliar ton di tahun 2009/2010). Fakta ini menunjukkan teori Malthus hanyalah
isapan jempol yang tidak layak diperhitungkan oleh para pemikir ekonomi.
b.
Saran
Hendaknya pemerintah melaksanakan
yang sudah disampaikan dan diuraikan diatas, tidak berkeras hati dan berlapang
dada mau menerima saran baik dari rakyatnya.
Daftar nama kelompok
No
|
Nama
|
Organisasi
|
Keterangan
|
1
|
Muhammad
Baiquni Syihab, SEI., MSI.
|
STEI Hamfara
|
Ketua
|
2
|
Nuning
Kristiani, SE., MM.
|
STIE YKPN
|
Sekretaris
|
3
|
Drs. Agus
Amarulloh, MA.
|
Dinas
Kebudayaan Prov DIY
|
Anggota
|
4
|
Drs. Suwarna,
M.Si.
|
Kesbanglinmas
Kab. Kulonprogo
|
Anggota
|
5
|
Teguh
Raharjo, S.Pd., MM.
|
Prov. DIY
|
Anggota
|
6
|
Sumeru Ismu
Widagdo, SH.
|
Prov. DIY
|
Anggota
|
7
|
Umardani, SH.
|
Kesbanglimas
Bantul
|
Anggota
|
8
|
Dra. Anis
Farikhatin, M.Pd.
|
SMA PIRI I
Jogja
|
Anggota
|
9
|
Yuli Ancoyo
|
SMKN I Godean
|
Anggota
|
10
|
Edi Sumarno,
S.Pd.
|
MAN II Jogja
|
Anggota
|
11
|
Dra. Sri
Nurmeilani
|
SMA
Muhammadiyah 7 Jogja
|
Anggota
|
12
|
Drs. Agung
|
SMKN 3 Bantul
|
Anggota
|
13
|
Drs.
Sugianto, M.Kes.
|
STIKES
Aisyiah DIY
|
Anggota
|
14
|
Dra.
Sudaryatie, M.Si.
|
UPN Veteran
DIY
|
Anggota
|
15
|
Kharimatul
Ummah, SH., M.Hum.
|
UII
|
Anggota
|
16
|
Lutfi Wibawa,
M.Pd
|
UNY
|
Anggota
|
17
|
Drs. Ida
Bagus Agung, MT.
|
Universitas
Sarjana Wiyata Tamansiswa
|
Anggota
|
Makalah
dipresentasikan pada acara sosialisasi pemantapan nilai-nilai kebangsaan bagi
para birokrat, Dosen dan Guru di wailayah DIY. yang diselenggarakan oleh
Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas) dari tanggal 2 s/d 6 Juli 2012
[2] Undang-undang pendistribusian
harta adalah seperti undang-undang pertanahan, industry, perseroan, jual beli,
dan lain sebagainya.
Sumber tulisan: ekonomipolitikislam.blogspot.com
Penulis M. Baiquni Shihab, SEI.,MSI adalah Dosen STEI Hamfara Yogyakarta
Posting Komentar