Lutfi

Slide Show
”large
SLIDES = new slideshow(“SLIDES”); SLIDES.timeout = 5000; //mengatur waktu slide show SLIDES.prefetch = 1; //memanggil file gambar-1 s = new slide(); s.src = “images/iklan-header.jpg”; SLIDES.add_slide(s); //memanggil file gambar-2 s = new slide(); s.src = “images/iklan-header-1.jpg”; SLIDES.add_slide(s); //memanggil file gambar-3 s = new slide(); s.src = “images/iklan-header-2.jpg”; SLIDES.add_slide(s); //memanggil file gambar-4 s = new slide(); s.src = “images/iklan-header-3.jpg”; SLIDES.add_slide(s); SLIDES.timeout = 5000; s = new slide(); s.src = “images/iklan-header.jpg”; SLIDES.add_slide(s);

Arsip Blog

Latest Post
Tampilkan postingan dengan label ekonomi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ekonomi. Tampilkan semua postingan

Hantu Sistem Ekonomi Islam Versi Hizbut Tahrir: Solusi Alternatif Sistem Ekonomi Indonesia

Written By Unknown on Minggu, 13 Januari 2013 | 20.08


Ekonomi Pancasila adalah sebuah wacana ekonomi Indonesia yang digulirkan pertama kali tahun 1980 oleh Mubyarto, seorang guru besar ekonomi Universitas Gadjah Mada.[1] Ekonomi Pancasila atau juga disebut Ekonomi Kerakyatan dikatakan sebagai sistem ekonomi yang selayaknya diterapkan sebagai ekonomi nasional dikarenakan sesuai dengan sistem nilai bangsa Indonesia dengan aturan main yang dibuat sendiri.[2] Bahwa bangsa Indonesia jika hendak mengembangkan suatu sistem ekonomi nasionalnya, maka hendaknya sistem itu harus berjalan dengan idiologi bangsa, yaitu Pancasila.[3]


Sebelum adanya wacana ekonomi Pancasila atau sebelum era orde baru, wacana ekonomi yang berkembang dan diadopsi pemerintah orde lama adalah ekonomi komando, mengikuti sistem politiknya demokrasi terpimpin, yang sebelumnya menggunakan sistem ekonomi liberal dengan sistem politiknya sistem pemerintahan parlementer.[4] Sebagaimana diketahui bahwa dalam teks Undang-Undang Dasar, dasar negara Indonesia adalah pancasila, namun wacana ekonomi pancasila baru memuka pasca orde lama, sedangkan pancasila sebagai dasar negara telah diadopsi sejak awal berdirinya negara ini, dan bukan pasca orde lama. Sebagai sebuah idiologi, Pancasila seharusnya mampu melahirkan sistem-sistem pengatur kehidupan masyarakat sejak awal munculnya ide dasar ini sebagaimana idiologi-idiologi lain saat awal kelahirannya, misalnya sistem ekonomi. Namun demikian, sistem ekonomi yang diterapkan oleh bangsa Indonesia di awal berdirinya negara ini, yang kemudian dikukuhkan oleh founding father bangsa ini adalah sistem ekonomi yang berkiblat pada negara adidaya di kawasan dunia bagian timur. Sedangkan pasca pemerintahan orde lama, arah perekonomian yang dianut bangsa ini tampak berkiblat pada negara adidaya di kawasan dunia bagian barat. Dengan demikian menjadi hal yang lumrah apabila sampai saat ini wacana ekonomi pancasila masih dalam ranah perdebatan.

Sejarah menunjukkan sistem ekonomi dunia yang besar dan dikenal selama ini terdiri dari 3 (tiga) sistem, yaitu sistem ekonomi Sosialisme, Islam dan Kapitalisme. Adapun sistem ekonomi Sosialisme telah runtuh bersama runtuhnya sistem politik yang menaunginya, Uni Sovyet. Demikian juga sistem ekonomi Islam, telah runtuh bersama runtuhnya sistem politik yang menaunginya, sejak kali pertama didirikan di Madinah 14 abad silam hingga masa Ottoman (Turki Utsmani) di Turki tahun 1924.[5] Tinggal kini sistem ekonomi Kapitalisme yang mendominasi sistem ekonomi di setiap negara di dunia ini. Kepemimpinan Kapitalisme saat ini dipimpin oleh Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa. Hampir seluruh negara berkembang di dunia terjamah sistem ini, sebab negara-negara tersebut terhubung melalui mata uang dolar, pasar modal, IMF, World Bank dan instrumen-instrumen ekonomi lainnya yang tidak lain kesemua instrumen tersebut dalam kendali Amerika Serikat sebagai alat imperialisme ekonominya.[6] Adapun negara-negara yang bernuansa dan berusaha untuk menerapkan kembali dua sistem ekonomi selain Kapitalisme, maka sistem ekonomi yang mereka terapkan tetap terdominasi oleh sistem ekonomi ini, Kapitalisme, dan masa seperti ini telah dimulai sejak Uni Sovyet mengalami kekalahan pada masa perang dingin melawan Amerika Serikat dan sekutunya, yang menyebabkan keruntuhan Sosialisme Uni Sovyet, sehingga sistem ekonomi konvensional di dunia saat ini adalah Kapitalisme.

Biografi sistem ekonomi Kapitalisme yang merupakan sistem ekonomi konvensional saat ini memiliki perjalanan hidup yang labil. Kerusakan demi kerusakan silih berganti menghinggapi negara yang menerapkannya, sehingga perbaikan demi perbaikan konsep pemikiran terus dilakukan. Terbukti dengan adanya transformasi pemikiran dari era Skolastik, Merkantilis, Klasik, Neoklasik, Keynes, Monetaris, Ratex hingga kini menjadi Neoliberal, terjadi sebagai bentuk perbaikan akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh era sebelumnya. Sebagai contoh adalah Great Depression, sebuah krisis ekonomi hebat melanda Amerika Serikat pada tahun 1929-1939, hingga menimbulkan dampaknya ke berbagai negara di dunia, adalah akibat dari penerapan ekonomi aliran Klasik, yang kemudian Keynesian memberikan solusi terhadapnya.[7] Namun stagflasi yang terjadi di tahun 70-an membuat solusi yang pernah diberikan Keynesian menjadi lumpuh total, sehingga muncullah Milton Friedman bersama alirannya Monetaris memberikan solusi.[8] Pada tahun 2009 ini kembali lagi terjadi krisis ekonomi yang cukup besar, hingga mampu meningkatkan angka pengangguran di negara tempat awal krisis ini terjadi menjadi 10,3 juta jiwa.[9] Kesemua ini menunjukkan bahwa sistem ekonomi Kapitalisme yang juga sistem ekonomi konvensional saat ini, tidak pernah menjadi sistem ekonomi yang mapan, disebabkan selalu meimbulkan kerusakan setelah adanya perbaikan.

Kebijakan ekonomi Indonesia sepertinya telah berada dalam jalur Kapitalisme. Pada era orde baru sudah tampak arah anginnya, Indonesia menggunakan metode pembangunan Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun), yang sebagaimana diketahui bahwa teori tahapan pembangunan lima tahunan adalah teori pembangunan dan pertumbuhan W.W. Rostow seorang ekonom Amerika Serikat.[10] Penandatanganan Letter of Inten (LoI) oleh penguasa orde baru bersama IMF pada masa akhir berkuasanya pun telah mengukuhkan kemana ekonomi Indonesia ini selanjutnya berpijak.[11] Bahkan segala kebijakan ekonomi Indonesia di masa reformasi ini tampak bukan hanya melanjutkan arah ekonomi di masa orde baru, melainkan lebih memantapkan langkahnya pada Kapitalisme. Kebijakan ekonomi neoliberal seperti privatisasi BUMN dan liberalisasi pasar (market fundamentalism) yang merupakan resep para ekonom Washington DC. untuk negara-negara berkembang seperti negara-negara Amerika Latin yang sedang mengalami krisis pada tahun itu, ternyata juga digunakan sebagai resep untuk memulihkan krisis ekonomi di negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia juga mengikutinya.[12]

Mulai tumbuh berkembangnya kembali wacana ekonomi Islam disebabkan mulai tampak jelasnya keburukan sistem ekonomi kapitalisme dan dampak yang ditimbulkannya, dan ekonomi Islam muncul kembali sebagai solusi alternatif dan kritik bagi sistem ekonomi ini setelah sebelumnya ekonomi Islam pernah berjaya.

Hampir setiap negara-negara penganut demokrasi di dunia saat ini memiliki dan mengusung faham nasionalisme-Kapitalis, sehingga sebuah wilayah negara tidak mungkin dapat bertambah luas, namun sebaliknya, untuk terpecah belah adalah mungkin sebagaimana Timor-Timur yang terpisah dari wilayah kekuasaan Indonesia pada tanggal 30 Agustus 1999.[13] Pendapatan negara pun akan stagnan sebagaimana stagnannya wilayah suatu negara, sebab pendapatan utama dan terbesar dalam pemerintahan mereka adalah pajak, sehingga dalam pengelolaan APBN-nya hanya berputat bagaimana mengatur proporsi yang akan dialokasikan pada suatu bidang tertentu. Apabila diakhir tahun (periode) ternyata kas negara memiliki dana sisa/lebih, maka dapat dikatakan surplus APBN, dan sebaliknya apabila dana yang tersedia kurang sehingga harus menambah pinjaman luar negeri maka dinamakan defisit APBN. Sedangkan dalam sejarah negara Islam yang pernah didirikan Rasulullah SAW. di Madinah, tampak wilayah kekuasaannya dari tahun ke tahun tidak stagnan, namun berkembang terus mengikuti kewajiban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia, sehingga pendapatan dan pengalokasian belanja negaranya pun bersifat fluktuatif.

Berbagai praktik dan kebijakan ekonomi yang berlangsung pada masa Rasulullah Saw. danal-khulafa ur-rasyidin merupakan contoh empiris yang dijadikan pijakan bagi para cendikiawan muslim dalam merumuskan teori-teori ekonominya, seperti Zaid bin Ali, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Al-Syaibani, Abu Ubaid bin Salam, Harits bin Asad, Al-Muhasibi, Junaid Al-Baghdadi, Ibnu Miskawih dan Al-Mawardi.[14] Bahkan pembahasan mengenai pendapatan dan belanja negara telah ada seorang diantara para cendikiawan muslim tersebut yang telah menyinggungnya, yaitu Abu Ubaid dalam karyanya kitab Al-Amwal.[15] Namun yang menjadi catatan bagi cendikiawan-cendikiawan muslim tersebut, termasuk Abu Ubaid, adalah bahwa mereka hidup saat sistem ekonomi Islam berada dalam naungan sistem politiknya, berbeda jauh dengan kondisi saat ini. Hal inilah yang membuat perhatian mereka untuk merumuskan sistem ekonomi Islam dan struktur pendapatan dan belanja negaranya yang tersusun secara sistematis dalam karya-karyanya luput dari pantauan mereka.

Hizbut Tahrir adalah organisasi yang membawa pemikiran idiologis, semua pergerakannya bersifat politik baik diluar perkara pemerintahan ataupun yang menyangkut pemerintahan.[16]Sebagai organisasi transnasional, dapat dikatakan bahwa hanya Hizbut Tahrir satu-satunya organisasi yang bergerak dalam bidang politik yang membawa isu sistem negara Islam (Khilafah Islamiyah), dan untuk ukuran negara sudah semestinya memiliki sub-sub sistem dibawahnya yang mengatur urusan-urusan rakyatnya. Sistem ekonomi, sistem sosial, sistem sangsi pidana, sistem pendidikan, sistem keuangan, dan sistem politik luar negeri yang merupakan sub-sub sistem dari sistem politik, ternyata organisasi politik ini memilikinya. Sebagaimana diuraikan diatas, bahwa sebuah sistem ekonomi tidak mungkin dapat hidup kecuali dalam naungan sistem politik yang memiliki idiologi yang sama dengan sistem ekonominya, demikian juga dengan sub-sub sistem lainnya. Dengan demikian, sistem ekonomi yang harus dibawa oleh Hizbut Tahrir adalah sistem ekonomi Islam, dan bukan sistem ekonomi Kapitalisme atau semi Kapitalisme juga bukan sistem ekonomi Sosialisme atau juga semi Sosialisme.



[1] Mubyarto, Ekonomi Pancasila Lintasan Pemikiran Mubyarto, Aditya Media, Yogyakarta, 1997, hal. 39.
[2] Ibid., Membangun Sistem Ekonomi, BPFE, Yogyakarta, 2000, hal. 239-246.
[3] Edy Suandi Hamid, Sistem Ekonomi Utang Luar Negeri dan Isu-isu Ekonomi Politik Indonesia, UII Press, Yogyakarta, hal. 38.
[4] Http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia:_Era_Orde_Lama
[5] Abdul Qadim Zallum, Konspirasi Barat Meruntuhkan Khilafah Islamiyah, Al-Izzah, Jawa Timur, 2001, hal. 184.
[6] John Perkins, Pengakuan Bandit Ekonomi; Kelanjutan Kisah Petualangannya di Indonesia dan Negara Dunia Ketiga, Ufuk Press, Jakarta Selatan, 2007, hal. 81-85.
[7] Dietmar Rothermund, Great Depression Depresi Besar Ekonomi Amerika 1929-1939 dan Dampaknya Terhadap Kehancuran Ekonomi dunia, Imperium, Yogyakarta, 2008, hal. 1-10.
[8] Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 191-192.
[10] Mansour Fakih, Runtuhnya teori Pembangunan dan Globalisasi, Insist Press dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hal. 55-57.
[11] Ishak Rafick, Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia: Sebuah Investigasi 1997-2007 Mafia Ekonomi dan Jalan Baru Membangun Indonesia, PT. Cahaya Insan Suci, Jakarta, 2008, hal. 63-65.
[12] Budiono, Ekonomi Indonesia Mau Kemana? Kumpulan esai Ekonomi, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), Jakarta, 2009, hal. xi-xiii.
[14] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 11-12.
[15] Ibid., Hal. 245-248.
[16] Hizbut Tahrir, Mengenal Hizbut Tahrir Partai Politik Islam Idiologis, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, 2002, hal. 23-25.



*Penulis M.Baiquni Shihab, SEI.,MSI adalah Dosen STEI Hamfara Yogyakarta 

Makna Sistem dan Sistem Ekonomi (Sistem Ekonomi Indonesia dan Sistem Ekonomi Islam Hizbut Tahrir)


Pengertian Sistem
Menurut West Churchman, sistem adalah serangkaian komponen yang dikoordinasikan untuk mencapai serangkaian tujuan. Dengan demikian sebuah sistem memiliki tiga karakteristik, yaitu: 1). komponen, atau sesuatu yang dapat dilihat, didengar atau dirasakan; 2). proses, yaitu kegiatan untuk mengkoordinasikan komponen yang terlibat dalam sebuah sistem; 3). tujuan, yaitu sasaran akhir yang ingin dicapai dari kegiatan koordinasi komponen tersebut. Meskipun proses dan tujuan sistem bersifat tidak kelihatan (intangible), namun kedua karakteristik juga merupakan elemen penting, sama pentingnya dengan elemen yang kelihatan (tangible).[1]

Sebuah sistem terdiri atas beberapa bagian yang memiliki karakteristik sama dengan sistem induknya. Bagian dari sistem semacam ini disebut dengan subsistem. Dengan demikian subsistem juga memiliki komponen, proses dan tujuan. Sebuah subsistem juga merupakan bagian dari sebuah sistem yang levelnya paling tinggi yang disebut dengan supersistem atau sistemnya sistem. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebuah sistem pada dasarnya merupakan kumpulan dari beberapa subsistem, sedangkan supersistem merupakan kumpulan dari beberapa sistem.[2]

Meskipun ada tiga istilah yang terkait dengan sistem, penyebutan atau pengelompokannya bersifat subjektif, artinya tergantung dari sudut pandang seseorang apakah akan menyebut sebuah sistem dengan sebutan sistem, subsistem, atau supersistem. Sebagai contoh, seseorang mungkin menyebut sistem transportasi umum (publik) sebagai sebuah supersistem yang terdiri atas sistem transportasi darat, sistem transportasi laut, dan sistem transportasi udara. Tujuan sistem tersebut adalah memindahkan orang atau barang dari satu tempat ke tempat lainnya dengan menggunakan berbagai bentuk teknologi. Tujuan dari masing-masing subsistem konsisten dengan tujuan sistem yang lebih besar, yaitu memindahkan orang atau barang dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Sebuah sistem juga harus memiliki batas, sehingga seseorang dapat membedakan antara sebuah sistem dengan sistem yang lain. Batas sistem juga membantu mengidentifikasi komponen-komponen sebuah sistem.[3]  

Pengertian Ekonomi dan Sistem Ekonomi
Sedangkan ekonomi dalam kamus ilmiah bahasa Indonesia mengartikan segala usaha manusia dalam memenuhi kebutuhannya guna mencapai kemakmuran hidupnya.[4] Ekonomi pun secara bahasa berasal dari bahasa Yunani yaitu oikos dan nomos yang berarti pengaturan urusan rumah tangga.[5] Dengan demikian, sistem ekonomi dapat didefinisikan sebagai serangkaian komponen ekonomi yang dikoordinasikan untuk memenuhi suatu kebutuhan guna mencapai kemakmuran hidup. Dan dalam tataran negara, ekonomi merupakan salah satu komponen untuk mencapai kemakmuran hidup rakyat yang tinggal dalam suatu negara.

Apabila pembahasan kali ini yaitu ekonomi dipandang sebagai objek pembahasan, maka dapat dikatakan titik sentral pembahasannya adalah sistem ekonomi. Kemudian penjelasan selanjutnya adalah terkait mengenai subsistem dan supersistem dari tujuan ekonomi itu sendiri. Sebagaimana yang telah teruraikan diatas mengenai tujuan sistem ekonomi, adalah untuk memenuhi suatu kebutuhan guna mencapai kemakmuran hidup. Maka tidak lain subsistem dari sistem ekonomi adalah sistem produksi, sistem distribusi dan sistem konsumsi, sebab ketiga hal tersebutlah yang merupakan masalah pokok ekonomi menurut hampir semua pakar ekonomi baik klasik maupun modern.

Melihat tujuan dari sebuah sistem ekonomi tentu dapat pula terlihat supersistemnya, sebab di era modern ini tidak mungkin dapat mencapai tujuan dari sistem ekonomi tersebut diatas apabila hanya sekedar ditopang oleh sistem ekonomi saja, mengingat bahwa sistem ekonomi berada dibawah sistem kehidupan yang lebih luas dan menguasainya. Supersistem yang dimaksud tidak lain adalah sistem politik, sebab sistem politiklah yang mengendalikannya menurut kebijakan kepala negaranya, bila seorang kepala negara tidak menyetujui langkah kongkrit dari sistem ekonomi, maka proses yang ada dalam sistem ekonomi tersebut dalam usahanya memenuhi tujuan sistem ekonomi tidak akan berjalan, bahkan akan mengikuti haluan dari supersistemnya, sistem politik.

Supersistem dari sistem ekonomi adalah sistem politik, maka sistem–sistem yang sejajar dengan sistem ekonomi yang juga berada dalam naungan sistem/supersistem politik adalah sistem sosial, sistem pendidikan dan sistem pidana. Mengingat bahwa sistem-sistem tersebut memiliki kaitan erat terhadap sistem ekonomi, dan bahwa sistem-sistem tersebut berada dalam naungan sistem/supersistem politik.

Sebagai contoh dalam sistem sosial, contoh kasusnya adalah tingginya angka pelacuran di Indonesia, betapa banyak hasil survey yang menunjukkan bahwa mayoritas kaum wanita yang melacurkan dirinya disebabkan faktor ekonomi. Artinya, problema sosial yang mendera bangsa ini memiliki hubungan erat dengan sistem ekonomi yang sedang diterapkan. Belum lagi bila melihat kasus-kasus lain seperti pengangguran, banyaknya tuna wisma dan lain sebagainya. Demikian juga problem sistem pidana, tingkat kriminalitas yang terjadi pada bangsa ini (Indonesia) juga kebanyakan disebabkan faktor ekonomi. Pencurian, perampokan, pemerasan atau bahkan korupsi yang melibatkan anggota dewan yang bukan berasal dari golongan ekonomi menengah kebawah juga tetap disebabkan faktor ekonomi, yaitu meningkatkan kekayaan. Sistem sanksi yang berlaku juga ternyata tidak mampu membuat para pelaku kriminal tersebut menjadi jera, sehingga menjadi seringnya pihak aparat penegak hukum mendapati orang-orang yang dahulunya pernah melakukan hal yang serupa menjadi hal yang lumrah. Tidak beda halnya dengan sistem pendidikan, kurikulum agama yang menjadi satu-satunya mata pelajaran yang dapat menentukan baik – buruknya seorang anak didik, ternyata hanya mendapat jatah dua jam dalam seminggu. Sehingga menjadi hal yang wajar apabila kehidupan sosial bangsa ini menjadi rendah. Demikian adalah hal yang menunjukkan betapa besar keterkaitan antara sistem ekonomi, sistem sosial, sistem pidana dan sistem pendidikan dalam wilayah sistem politik yang menguasainya, yang kesemuanya mengikuti supersistemnya, yaitu sistem politik. Dikarenakan sistem politiklah yang berhak mengendalikan arah langkah sistem-sistem dibawahnya.

a.        Pengertian Sistem Ekonomi Indonesia
Indonesia adalah negara yang wilayahnya terbentang dari sabang sampai merauke. Maka sistem ekonomi Indonesia adalah suatu sistem pengatur urusan ekonomi yang telah disepakati dan diterapkan dalam wilayah kesatuan republik Indonesia guna mencapai kemakmuran negara dan warga negaranya. Sebagaimana yang termaktub dalam pasal 33 UUD 1945, yaitu:

1.         Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
2.         Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
3.         Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
4.         Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.


b.        Pengertian Sistem Ekonomi Islam Hizbut Tahrir
Islam menurut bahasa berarti pasrah atau tunduk. Sedangkan menurut istilah bermakna agama yang diturunkan Allah Swt. kepada utusanNya Muhammad Saw. dengan demikian, Dalam hal ekonomi Hizbut Tahrir membedakan pembahasan ekonomi menjadi:

1.         Ilmu Ekonomi
Ilmu ekonomi dalam pandangan Hizbut Tahrir adalah hal-hal yang terkait dengan tata cara teknis (uslub) untuk memproduksi barang dan jasa, sebab hal ini terkait dengan ilmu dan teknologi yang bersifat universal. Ilmu dan teknologi dianggap sebagai universal sebab hal ini tidak terkait dengan pandangan hidup (agama dan idiologi) tertentu. Jadi, akan tidak menjadi soal apabila ilmu dan teknologi yang dipakai kaum muslim tersebut berasal dari hasil jual-beli dengan seorang ahli teknik yang beragama non-muslim.
2.         Sistem Ekonomi
Sistem ekonomi menurut Hizbut Tahrir adalah regulasi yang berkaitan dengan ekonomi, yang regulasi tersebut dirumuskan dari dalil-dalil hukum Islam (fiqhul Islam) yang kemudian diadopsi oleh kepala negara sistem pemerintahan Islam (Khilafah Islamiyah) untuk diterapkan kepada seluruh warga negaranya baik muslim maupun non-muslim.



[1] Krismiaji, Sistem Informasi Akuntansi, AMP YKPN, Yogyakarta, 2002, hal. 1-2.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Alex MA, Kamus Ilmiah Populer Kontemporer, Harapan Karya, Surabaya 2005.
[5] Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hal.2.


*Penulis M.Baiquni Shihab, SEI.,MSI adalah Dosen STEI Hamfara Yogyakarta 

Pokok Permasalahan Ekonomi

Written By Unknown on Senin, 07 Januari 2013 | 14.57

Hal mendasar dalam sebuah perekonomian apapun bentuk sistem ekonominya, maka permasalahan utama yang menjadi bahasan agar sebuah siklus ekonomi dapat terbentuk adalah masalah produksi, distribusi dan konsumsi. Ketiga hal inilah yang akan menentukan sebuah sistem ekonomi yang memliki sebuah ciri yang khas yang membedakan antara sebuah sistem ekonomi yang satu dengan yang lainnya.

Masalah produksi, distribusi dan konsumsi adalah masalah pokok ekonomi menurut teori ilmu ekonomi klasik.[1] Sedangkan menurut ekonomi modern ada beberapa hal rinci lain yang perlu dipertimbangkan, seperti masalah investasi, tingkat suku bunga, kurs valuta asing, inflasi, ekspor-impor, berbagai perusahaan besar maupun kecil, pajak, pengangguran, lingkungan hidup dan lain sebagainya. Demikian kompleksnya masalah ekonomi di era modern ini membuat masalah produksi, distribusi dan konsumsi menurut ekonomi klasik memerlukan bahasan yang lebih dalam. Setidaknya ada empat masalah fundamental perekonomian yang dihadapi setiap masyarakat di era modern. Yaitu barang dan jasa apa yang akan diproduksi (What), bagaimana cara proses produksi dilakukan (How), siapa pelaku produksi (Who) dan untuk siapa barang dan jasa hasil produksi tersebut (For Whom).[2]
1. Produksi
Masalah produksi adalah masalah pembahasan pada tiga awal masalah pokok ekonomi, yaitu barang dan jasa apa yang akan diproduksi (What), bagaimana cara proses produksi dilakukan (How), dan siapa pelaku produksi (Who) yang akan memproses produksi dari input hingga menjadi output, dan seberapa besar kewenangan pelaku produksi dalam mengambil manfaat (laba) dari hasil penjualan output produksi.

Faktor-faktor produksi hanya terdiri dari empat macam, yakni Tanah (Sumber Daya Alam), Sumber Daya Manusia (SDM), Mesin dan Manajemen.[3] Keempatnya memiliki keterkaitan yang erat. Sir William Pretty (ekonom asal Inggris pencetus konsep pendapatan nasional[4]) pada abad ke-17 M mengungkapkan hubungannya antar faktor-faktor produksi dengan mengibaratkan bahwa tenaga kerja (SDM) sebagai ayah dari produk, sedangkan tanah adalah ibunya. Maka akan menjadi hal yang tidak mudah untuk menentukan banyaknya hasil kerja yang dapat ditetapkan sebagai prestasi masing-masing faktor produksi, karena keseluruhan faktor produksi itu saling berinteraksi.[5]

Pendapatan nasional suatu negara pun dihitung berdasarkan biaya-biaya faktor produksi ditambah laba produksi. Biaya-biaya tersebut adalah sewa (tanah/SDA) ditambah biaya gaji/upah (SDM) ditambah biaya depresiasi (Mesin) ditambah laba/keuntungan produksi.[6]

Pendapatan Nasional dihitung dari PNN (Pendapatan Nasional Netto) dikurangi pajak ditambah subsidi. PNN sendiri merupakan hasil dari PNB (Produk Nasional Bruto) dikurangi depresiasi. Sedangkan PNB dihitung dengan menjumlahkan nilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu warga negara baik yang tinggal di dalam negeri maupun di luar negeri. Nilai produksi yang dihasilkan oleh faktor-faktor produksi yang digunakan di luar negeri juga dihitung dalam Produk Nasional Bruto.[7]

Pendapatan perkapita sering digunakan sebagai tolak ukur kemakmuran dan tingkat pembangunan sebuah negara, semakin besar pendapatan perkapitanya, semakin makmur negara tersebut. Pendapatan perkapita adalah besarnya pendapatan rata-rata penduduk di suatu negara. Pendapatan perkapita didapatkan dari hasil pembagian pendapatan nasional suatu negara dengan jumlah penduduk negara tersebut. Pendapatan perkapita juga merefleksikan PDB per kapita.[8]

2. Distribusi
Setelah benda pemuas kebutuhan selesai diproduksi, masalah yang harus dipikirkan adalah bagaimana supaya benda-benda tersebut bisa sampai ke tangan konsumen yang membutuhkan. Seperti yang telah diketahui, barang dan jasa yang tidak sampai ke tangan konsumen yang tepat, tidak ada nilai gunanya, dan tidak dapat memuaskan kebutuhan.

Masalah distribusi adalah masalah untuk siapa (For Whom) barang dan jasa yang dihasilkan itu. Siapa yang harus dan layak menikmati dan memperoleh manfaat dari barang dan jasa tersebut. Atau dengan perkataan lain, bagaimanakah seluruh produk didistribusikan (dibagikan) kepada anggota masyarakat. Apakah suatu produk ditujukan untuk masyarakat umum atau untuk segmen pasar tertentu saja.[9]

Cara distribusi pendapatan nasional akan menentukan bagaimana pandapatan nasional yang tinggi mampu menciptakan perubahan-perubahan dan perbaikan-perbaikan dalam masyarakat, seperti mengurangi kemiskinan, pengangguran dan kesulitan-kesulitan lain dalam masyarakat. Distribusi pendapatan nasional yang tidak merata tidak akan menciptakan kemakmuran bagi masyarakat secara umum. Sistem distribusi yang tidak merata hanya akan menciptakan kemakmuran bagi golongan tertentu saja. [10]

Perbedaan pandapatan diantara masyarakat timbul karena adanya perbedaan dalam kepemilikan sumber daya dan faktor produksi. Pihak yang memiliki faktor produksi yang lebih banyak akan memperoleh pendapatan yang lebih banyak juga.

Koefisien Gini merupakan alat yang sering digunakan untuk menunjukkan merata tidaknya distribusi pendapatan di suatu daerah atau negara. Koefisien Gini adalah perbandingan antara luas areal kurva Lorenz dan garis diagonal dengan luas seluruh areal di bawah garis diagonal.[11]

3. Konsumsi
Masalah konsumsi menyangkut permasalahan apakah benda pemuas kebutuhan yang diproduksi memang benda yang dapat dimiliki oleh konsumen. Barang yang diproduksi haruslah merupakan benda yang tepat, yaitu barang yang memang dibutuhkan, diinginkan, dan mampu dibeli oleh konsumen. Misalnya, tidak ada gunanya membuat kapal atau perahu di daerah yang tidak memiliki pantai. Selain itu tidak ada gunanya menjual barang kepada konsumen yang tidak memiliki kemampuan untuk membelinya. Dengan kata lain, masalah konsumsi adalah persoalan kebutuhan, selera, serta daya beli konsumen.[12]

Pada tingkat makro, Obsesi informal dan beberapa penelitian statistik memperlihatkan bahwa pendapatan merupakan faktor utama dalam menentukan konsumsi nasional. Pengeluaran untuk konsumsi nasional bergerak seirama dengan tingkat kegiatan perekonomian. Faktor penentu yang penting dalam fluktuasi pengeluaran untuk konsumsi adalah fluktuasi pendapatan disposabel. Maka ramalan yang baik bagi tingkat konsumsi adalah data mengenai pendapatan.[13]

Pendapatan disposabel (pendapatan yang dapat dibelanjakan) adalah penghasilan individu dalam suatu perekonomian yang bersih dan sudah bisa dibelanjakan secara keseluruhan setelah pendapatan nasional dikurangi dengan pajak penghasilan perseorangan. Rumus pendapatan perorangan yang dapat dibelanjakan : Pendapatan personal yang dapat dibelanjakan = pendapatan personal - pajak pendapatan personal.[14]


Ekonomi Politik Internasional 

Dalam disiplin ilmu hubungan internasional, ekonomi politik internasional terpecah ke dalam ilmu politik internasional dan ilmu ekonomi internasional. Factor politik umumnya diabaikan oleh para ekonom yang menganalisis proses dan kebijakan ekonomi internasional, demikian juga ilmuwan politik menganggap persoalan ekonomi sebagai lower politics, bukan bagian pokok dalam hubungan internasional.[1]

Secara historis, setidaknya ada beberapa fenomena yang menimbulkan kesadaran bahwa ekonomi politik internasional menjadi urgen untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam mengatur urusan ekonomi domestik maupun nasional, kebijakan ekonomi luar negeri, ekonomi internasional, dan konflik internasional. Fenomena tersebut adalah sebagai berikut:[2]

1. Fenomena Negara Berkembang
Munculnya fenomena negara kurang berkembang memunculkan cabang baru dari ilmu ekonomi, yaitu ekonomi pembangunan. Sebelum tahun 1960, suara masyarakat tanah jajahan hanya terdengar melalui mulut negara penjajahnya. Bahwa tempat tanah jajahan itu dalam ekonomi dunia adalah sebagai penghasil bahan mentah atau semi-manufaktur untuk dimanfaatkan oleh negara industri maju. Sudah diketahui bahwa penduduk asli tanah jajah itu selalu dirundung kemiskinan, tetapi itu selalu dipandang sebagai akibat dari kondisi kelembagaan dan perilaku yang internal. Tidak ada upaya untuk mengkaitkan kemiskinan itu dengan tempat si miskin dalam area ekonomi global dan dengan ketimpangan distribusi pendapatan global.

2. Fenomena Pesatnya Pertumbuhan Perusahaan Multi-Nasional
Perusahaan yang aktif di berbagai Negara sebetulnya bukan fenomena baru. Baru menarik perhatian para ilmuan dan analis ketika perusahaan multi-nasional menjadi begitu besar sehingga secara politik tidak bisa diabaikan. Pada pertengahan tahun 1950, kegiatan perusahaan multi-nasional sudah mulai menimbulkan perdebatan mengenai hakikat kedaulatan negara, konsep penetrasi ke dalam sistem politik suatu negara, dan tentang hakekat kekuatan ekstra nasional.

3. Fenomena Kenaikan Harga Minyak
Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran akan kelangkaan bahan dasar dan energi. Ketika kenaikan harga minyak pada era tahun 1970, ilmuwan ekonomi masih yakin bahwa yang dilakukan oleh negara-negara OPEC bisa dijelaskan dengan perangkat analis ekonomi konvensional. Negara-negara pengekspor minyak itu sekedar menerapkan kebijakan ekonomi, yaitu kartel, yang berhasil menaikkan harga dengan membatasi supply pada kurva permintaan tidak elastis. Namun untuk melihat sebab diluncurkannya kebijakan kartel oleh negara-negara OPEC tentu memerlukan bantuan analis politik internasional, sebab hal tersebut terkait dengan embargo ekonomi negara-negara OPEC terhadap Amerika yang mendukung pendudukan Israel terhadap Palestina.


4. Fenomena Stagflasi Negara Industri Maju
Stagflasi yang terjadi pada tahun 1970-an menimbulkan crisis of control. Banyak pemerintah tidak bisa mengendalikan perkembangan dunia. Manajemen ekonomi makro tidak mampu menangani stagflasi. Upaya berbagai pemerintah untuk menyelesaikan persoalan domestik di arena internasional, karena yakin bahwa disanalah sumbernya. Membuat mereka yang semula sudah berhasil membangun kerjasama internasional, seperti dalam MEE atau antara Amerika Serikat dan Jepang, menjadi saling bertikai.



[1] Mohtar Mas’oed, Ekonomi-Politik internasional dan Pembangunan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003,hal. 9
[2] Ibid., hal. 12-18.



[1]Sukwiaty, Sudirman Jamal, Slamet Sukamto, Ekonomi SMA Kelas X, Yudistira, 2002, hal. 14.
[2] Tim Abdi Guru (Wahyu Adji, Suwerli dan Suratno), Ekonomi SMA untuk SMA Kelas X, Erlangga, Jakarta, 2004, hal. 34-36.
[3] Ibid. hal. 3-4.
[4] http://id.wiki.detik.com/wiki/Pendapatan_nasional
[5] Paul A. Samuelson dan William D. Nordhaus, Ekonomi – jilid 2, Erlangga, Jakarta, 1992, hal. 235.
[6] Soediyono Reksoprayitno, Pengantar Ekonomi Makro, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta, 2000, hal. 19-21.
[7] Tim Penyusun Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (Pribadi setiyanto dan Ayudha D. Prayogo),Ekonomi Kelas X Semester 2, LPFE UI, 21-22.
[8] http://id.wikipedia.org/wiki/Pendapatan_perkapita
[9] Tim Abdi Guru, Ibid. Hal. 36.
[10] http://www.e-dukasi.net/mol/mo_full.php?moid=6&fname=eko202_07.htm
[11] Irawan dan M. Suparmoko, Ekonomika Pembangunan, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta, 2008, hal. 295.
[12] Tim Abdi Guru, Ibid. Hal. 33.
[13] Paul A. Samuelson dan William D. Nordhaus, Ekonomi – jilid 1, Erlangga, Jakarta, 1989, hal. 169-170.
[14] http://organisasi.org/rumus-menghitung-pdb-pnb-pnn-pendapatan-nasional-individu-dan-pendapatan-dapat-dibelanjakan.

Sumber tulisan: ekonomipolitikislam.blogspot.com

*Penulis M.Baiquni Shihab, SEI.,MSI adalah Dosen STEI Hamfara Yogyakarta 
 
Support : Kantor Seketariat: Kampus STEI Hamfara Yogyakarta Dusun Kenalan, Desa Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Bantul 085 22 88 33 130 / kastratekis@gmail.com Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Membumikan Sistem Ekonomi Islam - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Modified by Lutfi Sarif Hidayat